PARIWARA

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

OK

Rabu, Desember 29, 2010

Keunggulan Agribisnis Skala Kecil

Rudolf Sinaga, seorang guru besar Faperta IPB, sejak tahun 1970-an tekun meneliti hubungan antara skala usaha dengan biaya produksi di sektor pertanian. Kajiannya yang mendalam terhadap sistem agribisnis tersebut sampai pada kesimpulan bahwa dalam subsistem budidaya, efisiensi teknis dan biaya antara usaha skala kecil dengan skala besar, relatif tidak berbeda. Artinya, hubungan skala usaha dengan biaya produksi per unit output adalah netral.

Argumentasi yang selama ini memandang bahwa usaha budidaya skala kecil inefisien, menjadi tidak relevan, atau minimal masih debatable. Untuk sub sistem pengadaan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran, Sinaga memang mengusulkan agar ditangani saja oleh usaha skala besar karena tidak mungkin dilakukan usahatani kecil yang modalnya gurem.

Petani kecil sebaiknya diberi porsi yang lebih besar dalam sub sistem budidaya. Jangan semua budidaya dikerjakan oleh skala besar. Berdasarkan pengertian ini, restrukturisasi skala besar menjadi skala kecil merupakan hal mendesak dilakukan dalam subsistem budidaya. Jembatan yang diyakini mampu menghubungkan kepentingan petani kecil dengan pengusaha skala besar adalah pola kemitraan atau PIR (Perusahaan Inti Rakyat).

Terlepas dari adanya kontradiksi dalam pemikiran di atas, esensi solusi tetap bermuara pada diterapkannya agribisnis dalam skala kecil. Secara lebih tegas, solusi di atas sekaligus akan meretas anggapan selama ini bahwa skala kecil tidak efisien. Juga, meretas hegemoni hukum-hukum ekonomi dan teknologi negara maju (barat). Argumentasi penguat dapat ditinjau dari realitas dan keunggulan usahatani skala kecil. Pertama, usaha pertanian tidak pernah akan lenyap selama manusia masih perlu makan. Kedua, kenyataan bahwa kepemilikan faktor produksi (lahan, modal) petani kita sangat sempit dan terbatas. Ketiga, sebagian besar penduduk masih bergantung pada sektor pertanian di pedesaan. Keempat, kontribusi pertanian sangat besar dalam menunjang sektor industri hulu dan hilir serta jasa pertanian, baik dalam kontribusi komoditi pertanian, pendapatan, pasar maupun penyerapan tenaga kerja. Kelima, program-program dalam skala kecil lebih memungkinkan adanya partisipasi, lebih mudah disesuaikan, serta lebih peka menjawab kebutuhan petani. Keenam, program kecil membutuhkan teknologi sederhana yang disesuaikan dengan kemampuan pelaku-pelakunya. Ketujuh, program-program skala kecil memberi ruang yang besar bagi partisipasi dan kemandirian demi pencapaian masyarakat yang bebas, demokratis dan berkeadian sosial. 
 
Segala upaya berkaitan dengan pengembangan sektor pertanian, harus selalu mengacu pada pemberdayaan, penyejahteraan dan pemanusiaan petani-petani selaku subjek utama agribisnis. Argumentasi ini selain memberi
tempat bagi pengembangan pertanian skala kecil yang sesuai dengan kebutuhan petani, juga menjawab tantangan pemerataan, tanpa harus mengorbankan efisensi.

Senin, Desember 13, 2010

Solusi Pengembangan Produk Agribisnis

Guna mengatasi masalah pengembangan produk agribisnis di pedesaan, maka program yang perlu dikembangkan berupa pengembangan komoditas unggulan dan andalan, peningkatan nilai tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran, penyediaan sarana pengangkutan dan penyebaran produk, pengembangan kemitraan dan penstruktur-ulangan sistem dan kelembagaan pertanian dan agroindustri, serta memberikan nilai tambah produk pertanian. Pada dasarnya, nilai tambah bukan diukur dari apa yang sudah dilakukan termasuk segala biaya yang harus dikeluarkan, tetapi dari persepsi nilai pada konsumen. Oleh karena nilai tambah diukur dengan persepsi konsumen, maka peran pemasaran termasuk brand menjadi penting. Apabila persepsi lebih tinggi dapat diberikan melalui value creation dan dilengkapi dengan aplikasi pemasaran yang benar, maka agroindustri akan memberi sumbangan lebih besar (Azfa, 2005).

Pengembangan komoditas unggulan di daerah akan membuka peluang usaha bagi masyarakat terutama di pedesaan. Menurut Basri (2003), suatu peluang usaha akan menjadi sumber pendapatan yang memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat jika mampu menangkap peluang usaha yang potensial dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha yang nyata. Dengan demikian kemampuan masyarakat memanfaatkan peluang yang ada akan dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam menangkap peluang itu sendiri. Hal kedua adalah kemampuan mengorganisir sumberdaya yang dimiliki sedemikian rupa sehingga peluang yang potensial menjadi usaha yang secara aktual dapat dioperasikan.

Menurut Bachrein (2006), untuk mendukung keberhasilan program pengembangan keanekaragaman komoditas di tingkat petani dengan pemilikan lahan sempit dan risiko relatif tinggi dalam usahatani, maka pemerintah daerah juga harus berupaya agar komoditas berpotensi untuk diunggulkan dapat menjadi komoditas unggulan dengan meningkatan pengkomersialan komoditas tersebut. Adapun peningkatan pengkomersialan dapat dilakukan melalui beberapa upaya, antara lain 1) peningkatan produktivitas dan kualitas hasil, 2) perluasan areal tanam disertai dengan anjuran penerapan teknologi khusus lokasi, 3) penerapan alat dan mesin pertanian khususnya untuk pengolahan hasil, dan 4) peningkatan promosi agar lebih dikenal oleh masyarakat.

Sumber : Almasdi Syahza, Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru

Senin, November 29, 2010

Kendala dalam Pengembangan Pertanian

Dalam pengembangan sektor pertanian ke depan masih ditemui beberapa kendala, terutama dalam pengembangan sistem pertanian yang berbasiskan agribisnis dan agroindustri. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan pertanian khususnya petani skala kecil, antara lain: 

Pertama, lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber permodalan. Salah satu faktor produksi penting dalam usaha tani adalah modal. Besar-kecilnya kala usaha tani yang dilakukan tergantung dari pemilikan modal. Secara umum pemilikan modal petani masih relatif kecil, karena modal ini biasanya bersumber dari penyisihan pendapatan usaha tani sebelumnya. Untuk memodali usaha tani selanjutnya petani terpaksa memilih alternatif lain, yaitu meminjam uang pada orang lain yang lebih mampu (pedagang) atau segala kebutuhan usaha tani diambil dulu dari toko dengan perjanjian pembayarannya setelah panen. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan petani sering terjerat pada sistem pinjaman yang secara ekonomi merugikan pihak petani.

Kedua, ketersediaan lahan dan masalah kesuburan tanah. Kesuburan tanah sebagai faktor produksi utama dalam pertanian makin bermasalah. Permasalahannya bukan saja menyangkut makin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan petani, tetapi juga berkaitan dengan perubahan perilaku petani dalam berusaha tani. Dari sisi lain mengakibatkan terjadinya pembagian penggunaan tanah untuk berbagai subsektor pertanian yang dikembangkan oleh petani.

Ketiga, pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Sarana produksi sangat diperlukan dalam proses produksi untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Pengadaan sarana produksi itu bukan hanya menyangkut ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, tetapi yang lebih penting adalah jenis dan kualitasnya. Oleh karena itu pengadaan sarana produksi ini perlu direncanakan sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan dan dipergunakan pada waktu yang tepat.

Keempat, terbatasnya kemampuan dalam penguasaan teknologi. Usaha pertanian merupakan suatu proses yang memerlukan jangka waktu tertentu. Dalam proses tersebut akan terakumulasi berbagai faktor produksi dan sarana produksi yang merupakan faktor masukan produksi yang diperlukan dalam proses tersebut untuk mendapatkan keluaran yang diinginkan. Petani yang bertindak sebagai manajer dan pekerja pada usaha taninya haruslah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penggunaan berbagai faktor masukan usaha tani, sehingga mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha yang dilakukan.

Kelima, lemahnya organisasi dan manajemen usaha tani. Organisasi merupakan wadah yang sangat penting dalam masyarakat, terutama kaitannya dengan penyampaian informasi (top down) dan panyaluran inspirasi (bottom up) para anggotanya. Dalam pertanian organisasi yang tidak kalah pentingnya adalah kelompok tani. Selama ini kelompok tani sudah terbukti menjadi wadah penggerak pengembangan pertanian di pedesaan. Hal ini dapat dilihat dari manfaat kelompok tani dalam hal memudahkan koordinasi, penyuluhan dan pemberian paket teknologi.

Keenam, kurangnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia untuk sektor agribisnis. Petani merupakan sumberdaya manusia yang memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan suatu kegiatan usaha tani, karena petani merupakan pekerja dan sekaligus manajer dalam usaha tani itu sendiri. Ada dua hal yang dapat dilihat berkaitan dengan sumberdaya manusia ini, yaitu jumlah yang tersedia dan kualitas sumberdaya manusia itu sendiri. Kedua hal ini sering dijadikan sebagai indikator dalam menilai permasalahan yang ada pada kegiatan pertanian.

Rabu, Oktober 13, 2010

PROFESIONALISME PENYULUH SISTEM PERTANIAN

Menurut Anoraga (1998), seorang profesional harus mampu memadukan unsur kemampuan teknis (kompetensi) dan kematangan etik, moral dan akal. Penguasaan teknik saja tidak membuat seseorang menjadi profesional. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, beberapa ciri profesionalisme, yaitu: (1) mengejar kesempurnaan hasil, (2) memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan, (3) sifat keteguhan dan ketabahan untuk mencapai hasil hingga tercapai, (4) mempunyai integritas tinggi, (5) memerlukan kebulatan pikiran dan perbuatan untuk mencapai efektivitas kerja yang tinggi.

Menurut Slamet et al. (1996), profesionalisasi penyuluhan dapat dilakukan dengan mengacu kepada penerapan manajemen mutu terpadu, yakni pola manajemen penyuluhan yang memuat prosedur agar setiap orang dalam organisasi penyuluhan terus menerus memperbaiki jalan menuju sukses, dan dengan penuh semangat berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan kerja. Penyuluhan dikatakan bermutu baik jika dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pihak yang disuluh (sasaran). Agar penyuluhan dapat bermutu baik maka seluruh sumber daya harus dapat dipergunakan dengan baik, dan proses penyuluhan harus tetap berpegang pada falsafah dan prinsip penyuluhan.

Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka ciri-ciri penyuluh professional adalah sebagai berikut: (a) mempunyai latar belakang keahlian dibidang agribisnis, (b) memahami betul posisi dan peranan dirinya sebagai penyuluh agribisnis, (c) menguasai betul semua aspek agribisnis, seperti: teknis produksi, manajemen agribisnis, hubungan sistem agribisnis, dan etika bisnis (keadilan, kejujuran, kewajaran, kepercayaan, dan keuletan), (d) selalu mengejar kesempurnaan hasil melalui penerapan manajemen mutu terpadu dalam penyelenggaraan penyuluhan, (e) biasa belajar dan bekerja dengan penuh kesungguhan hati dan ketelitian, (f) mempunyai sifat teguh dan tabah serta tekad yang kuat untuk mencapai hasil, (g) mampu mengatasi kesulitan permodalan usaha petani peternak melalui perusahaan inti atau lembaga keuangan lainnya, (h) mampu meyakinkan petani bahwa materi penyuluhan yang disampaikan akan membawa perbaikan bagi peningkatan produksi dan produktivitas usahataninya, (i) mampu melindungi petani peternak dari kemungkinan kerugian total dengan cara mengupayakan biaya kompensasi pemeliharaan minimal dari perusahaan intinya/mitranya, dan (y) simaptik, jujur, tekun, dan disiplin dalam bekerja, dinamis dan
progresif dalam menyesuaikan diri dengan peternak.

Kamis, September 23, 2010

PENYULUH SISTEM AGRIBISNIS

Penyuluhan sistem agribisnis juga memerlukan perubahan perilaku penyuluh, yakni harus mampu: (a) meningkatkan profesionalisme penyuluh dengan melakukan perbaikan mutu layanan secara terus menerus yang mengacu kepada kebutuhan dan kepuasan pelanggannya; (b) menguasai materi penyuluhan yang menyangkut teknis produksi, manajemen agribisnis, manajemen hubungan sistem agribisnis, informasi permintaan pasar atau kebutuhan konsumen, jiwa kewirausahaan, serta etika bisnis dan keunggulan bersaing; (c) tidak menjadikan petani dan perusahaan agribisnis lainnya sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang dapat menentukan masa depannya sendiri; dan (d) melakukan fungsi melayani (konsultatif) dengan sistem “menu”.

Untuk mendukung strategi pendekatan “penyuluhan sistem agribisnis” maka, penyuluh seharusnya tetap berpegang pada falsafah dasar penyuluhan pertanian (Slamet, 1969 dan
Samsudin, 1987), yaitu: (1) penyuluhan merupakan proses pendidikan, (2) penyuluhan merupakan proses demokrasi, dan (3) penyuluhan merupakan proses kontinyu. Penyuluh juga sebaiknya tetap berpegang pada prinsip-prinsip penyuluhan (Dahama dan Bhatnagar, 1980), antara lain: (1) penyuluhan akan efektif bila mengacu kepada minat dan kebutuhan sasaran, (2) penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan, (3) penyuluh mendorong terjadinya belajar sambil bekerja, (4) penyuluh harus orang yang sudah terlatih dan benar-benar menguasai materi yang akan disuluhkan, (5) metode penyuluhan disesuaikan dengan kondisi spesifik sasaran (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan sosial budaya), dan (6) penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan partisipatif.

Peran penyuluh adalah mengembangkan kekondusifan lingkungan belajar bagi sasaran penyuluhan untuk belajar secara mandiri, dan memberikan konsultasi bagi petani peternak atau pengusaha agribisnis lain yang memerlukan. Penyuluh berkewajiban menyadarkan sasaran penyuluhan tentang adanya kebutuhan yang nyata (real need atau unfelt need) menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt need). Penyuluh harus mampu mengajak sasaran penyuluhan berpikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama sehingga terjadi pemecahan masalah dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka.

Penyuluh akan semakin mampu menerapkan “pendekatan penyuluhan sistem agribisnis” yang makin efektif apabila mampu menghayati secara sungguh-sungguh materi penyuluhan sistem agribisnis, dan makin berkemampuan tinggi dalam menerapkan keanekaragaman metode penyuluhan dan media komunikasi kepada sasarannya secara tepat dan bijak.

Untuk keberhasilan penyuluhan sistem agribisnis di masa depan, maka penyuluhan sistem agribisnis agar dilakukan oleh “penyuluh profesional,” yang dapat berasal dari penyuluh dinas ataupun penyuluh swasta, yang mempunyai kompetensi dan komitmen diri yang tinggi untuk menjaga profesionalisme penyuluh. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1999), profesional diartikan sebagai memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya serta mengharuskan adanya pembayaran atas jasa profesi. Profesionalisme penyuluh disamping mencerminkan keahliannya, juga harus mampu menunjukkan mutu layanannya, kemandirin dan kewirausahaan.

Rabu, September 01, 2010

PERILAKU AGRIBISNIS BERKEBUDAYAAN INDUSTRI

Keberhasilan usaha pertanian atau peternakan tidak bisa ditentukan oleh petani saja, tetapi merupakan hasil sinergi antara petani (perusahaan usahatani) dengan perusahaan yang menghasilkan sarana produksi pertanian dan perusahaan yang akan mengolah atau  memasarkan hasilnya serta komponen penunjang agribisnis. Karena itu, harus ada kesamaan sikap dan perilaku serta etika bisnis diantara pengusaha para pelaku sistem agribisnis.

Pembangunan agribisnis dapat dilakukan melalui pemberdayaan petani dan pelaku sistem agribisnis lainnya tentang hakekat sistem agribisnis, yakni membangun sikap mental dan budaya industri pada masyarakat pertanian secara keseluruhan. Perusahaan pengadaan dan penyediaan sarana produksi, perusahaan pengolahan dan perusahaan pemasaran, tidaklah serta merta menjadi Pembina dalam hubungan kemitraan inti plasma. Perusahaan tersebut, sebelum membina harus dibina terlebih dahulu oleh subsistem jasa penunjang agribisnis.

Suatu kesalahan yang sangat konyol selama ini adalah: (1) tindakan penyuluh yang selalu berfokus kepada upaya untuk memperbaiki kemampuan teknis produksi petani, padahal yang terpenting adalah meningkatkan kemampuan manajemen agribisnis dan manajemen hubungan sistem agribisnisnya; (2) para penyuluh kita telah terjebak di dalam lingkaran sistem kerja yang keliru, memandang peningkatan produksi sebagai tujuan akhir; (3) disadari atau tidak para pejabat pertanian kita telah membentuk opini masyarakat bahwa tingkat produksi dan produktivitas merupakan ukuran keberhasilan pembangunan pertanian; dan (4) para pejabat pertanian memandang bahwa perusahaan agribisnis yang berada di hulu dan di hilir sebagai pengusaha yang sudah professional dan memahami sistem agribisnis, padahal mereka belum tentu mampu memahami maupun melakukan konsep sistem agribisnis secara baik. Jika para pejabat pertanian atau penyuluh masih mempunyai cara pandang seperti itu, bagaimana jadinya dengan petani kita kedepan?

Kesalahan cara pandang seperti itu menyebabkan para pejabat pemerintahan kita selalu sibuk mengurusi petani atau peternak, melakukan penyuluhan yang tidak tepat sasaran kepada petani, dan memberikan fasilitas yang juga keliru kepada petani. Hal inilah yang dapat menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan pada para pejabat pemerintahan maupun petani peternak kita. Petani hanyalah merupakan salah satu komponen perusahaan agribisnis. Jika keberhasilan agribisnis tidak bisa dilakukan oleh petani saja, maka komponen perusahaan agribisnis lainnya haruslah menjadi fokus perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan petani peternak itu sendiri. Karena itu, setiap kebijakan pemerintah di bidang pembangunan pertanian haruslah bersifat holistik, yakni menyentuh semua komponen pelaku sistem agribisnis dan mengkoordinasikannya untuk memberdayakan agribisnis. Kebijakan dan tindakan seperti itu harus dilakukan secara terus menerus hingga menjadi budaya bagi masyarakat agribisnis di Indonesia.

Apabila semua komponen pelaku sistem agribisnis sudah dapat memahami hakekat sistem agribisnis dan menjadikannya sebagai budaya dalam mengelola perusahaan agribisnis maka otomatis pendapatan dan kesejahteraan petanipun akan meningkat. Menurut Soekanto (1990) kebudayaan diartikan sebagai garis-garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan. Pertanian “berbudaya industri” adalah pengelolaan kegiatan pertanian secara industri, yakni membuat kebudayaan industri menjadi kebudayaan milik pertanian, yang secara fundamental berarti membangun sikap mental dan budaya masyarakat pertanian sebagaimana sikap mental dan budaya yang hidup dalam masyarakat industri (Solahuddin, 1999). Kondisi yang berlawanan dengan budaya idustri adalah “budaya agraris” yang dicirikan oleh sifat komunal, diikat oleh kesadaran kolektif, terdapat ikatan emosional, hubungan dan orientasi primordial, keterkaitan dengan alam tinggi, dan teknologi masih sederhana.

Ciri perilaku agribisnis berkebudayaan industri yang diharapkan terbentuk adalah: (1) tekun, ulet, kerja keras, hemat, cermat, disiplin dan menghargai waktu; (2) mampu merencanakan dan mengelola usaha; (3) selalu memegang teguh asas efisiensi dan produktivitas, (4) menggunakan teknologi terutama teknologi tepat guna dan akrab lingkungan, (5) mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil, (6) berorientasi kepada kualitas produk dan permintaan pasar, (7) berorientasi kepada nilai tambah, (8) mampu mengendalikan dan memanfaatkan alam, (9) tanggap terhadap inovasi, (10) berani menghadapi risiko usaha, (11) melakukan agribisnis yang terintegrasi maupun quasi integrasi secara vertikal, (12) perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam sehingga produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang diminta pasar, dan (13) professional serta mandiri dalam menentukan keputusan.

Apabila ciri yang menjadi prinsip industri itu sudah dipahami, dihayati dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari oleh komunitas para pelaku sistem agribisnis, maka perilaku agribisnis dikatakan sudah menjadi “budaya industri”. Menurut Council on Food, Agricultural and Resource Economics (Simatupang, 1995) industri dalam agribisnis dapat pula dipahami sebagai struktur agribisnis industrial, yakni konsolidasi usahatani yang disertai dengan koordinasi vertikal diantara seluruh tahapan agribisnis dalam satu alur produk melalui mekanisme non pasar sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan pilihan konsumen akhir.

Suparta (2001) menandaskan bahwa, perilaku agribisnis peternak ayam ras pedaging belum kondusif ke arah perilaku agribisnis berkebudayaan industri, karena: (a) kurang didukung oleh aspek perilaku hubungan sistem agribisnis, (b) terlalu berorientasi kepada on farm agribusiness, pola pikir dan etika kesisteman untuk mencapai tujuan bersama masih kurang, sehingga peternak belum mampu merumuskan visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan perusahaan agribisnis lainnya yang seharusnya dapat didiskusikan dan dirumuskan secara terbuka oleh para pihak. Kondisi yang hampir serupa juga tampak pada pelaku sistem agribisnis lainnya. Jika perilaku agribisnis pada peternak ayam ras pedaging yang nota bena karakteristik usahanya sudah bersifat industri serta dikenal pula dengan sebutan “industri peternakan rakyat” belum juga kondusif kearah perilaku agribisnis berkebudayaan industri, bagaimana halnya dengan pelaku agribisnis pada komoditas pertanian lainnya?

Untuk meningkatkan perilaku agribisnis itu, dapat direkomendasikan penyuluhan dengan pendekatan “penyuluhan sistem agribisnis”, yang: (a) tujuan penyuluhannya jelas kearah peningkatan perilaku agribisnis, (b) metode dan media komunikasi harus lebih beragam dan jelas polanya untuk memenuhi kebutuhan sasaran, (c) materi penyuluhannya lengkap mencakup aspek teknis produksi, aspek manajemen agribisnis, dan aspek hubungan sistem agribisnis dengan wawasan industri.

Penyuluhan sistem agribisnis tidak hanya ditujukan kepada petani atau peternak, tetapi hendaknya ditujukan pula kepada pelaku sistem agribisnis lainnya, agar masing-masing perusahaan agribisnis mampu memahami dengan baik dan benar hakekat sistem agribisnis, selanjutnya sangat diharapkan akan mampu membangun kesamaan sikap, perilaku dan etika bisnis dalam kebersamaan dan saling ketergantungan

Selasa, Agustus 24, 2010

Strategi Penyuluhan Sistem Agribisnis

Strategi pendekatan “penyuluhan sistem agribisnis” memerlukan beberapa prakondisi, yakni: syarat keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat keharusan, merupakan kondisi minimum yang harus ada agar penyuluhan sistem agribisnis dapat berjalan dengan baik, yaitu: (1) penyuluh profesional agar memiliki kompetensi keahlian dan etika profesionalisme; (2) penyuluh agar tetap berpegang pada falsafah penyuluhan dan prinsip-prinsip penyuluhan; (3) visi dan misi penyuluhan agar menempatkan petani peternak dan usahataninya sebagai sentral dalam penyelenggaraan penyuluhan; (4) tujuan penyuluhan agar jelas dan dapat dipahami bersama petani peternak yakni meningkatkan perilaku agribisnis yang berbudaya industri; (5) memanfaatkan sumber daya penyuluhan semaksimal mungkin dalam penyelenggaraan penyuluhan untuk mencapai tujuan; (6) sasaran perubahan perilaku harus jelas dan terukur yakni mampu memahami dan melakukan hubungan sistem agribisnis dan etika kesisteman yang baik; (7) materi penyuluhan menyangkut semua aspek sistem agribisnis, yakni: aspek teknis produksi, manajemen agribisnis, hubungan sistem agribisnis berwawasan industri, etika kesisteman, kewirausahaan; (8) metode dan media komunikasi penyuluhan harus lebih beragam agar mampu meningkatkan perubahan aspek psikologis yang lebih dekat kepada perubahan perilaku, yakni: persepsi, sikap, keterampilan dan sifat kewirausahaan petani peternak; dan (9) fasilitas dan pendapatan yang memadai bagi penyuluh.

Syarat kecukupan merupakan lingkungan yang memperlancar mekanisme kerja “penyuluhan Sistem Agribisnis”, yakni: (1) kebijakan pemerintah tentang pembangunan pertanian melalui pendekatan agribisnis, serta kebijakan pemerintah tentang fungsi dan peran penyuluhan dalam pembangunan pertanian, (2) situasi perekonomian makro yang stabil dan dinamis dan memberikan iklim yang baik bagi berkembangnya usaha pertanian, (3) situasi sosial politik yang stabil sehingga tidak mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan ekonomi secara makro, (4) kondisi infra struktur yang memadai sehingga memudahkan dan memperlancar pelaksanaan proses produksi dan proses pemasaran hasil, (5) dukungan fungsi-fungsi lain, seperti: lembaga penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pasar yang kuat untuk menjual hasil produksi dan hasil olahannya, pelayanan informasi agribisnis, lembaga keuangan dan asuransi. Agar fungsi-fungsi itu dapat bersinergi dengan baik maka fungsi-fungsi itu agar memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang sistem agribisnis.

Kamis, Agustus 19, 2010

PENYULUHAN SISTEM AGRIBISNIS

Menurut Suparta (2001), yang dimaksud dengan penyuluhan sistem agribisnis adalah “jasa layanan dan informasi agribisnis yang dilakukan melalui proses pendidikan non formal untuk petani dan pihak-pihak terkait yang memerlukan, agar kemampuannya dapat berkembang secara dinamis untuk menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya dengan baik menguntungkan dan memuaskan.” Kegiatan penyuluhan itu adalah jasa layanan, dan jasa layanan itulah yang harus dibuat bermutu sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan harapan sasaran penyuluhan pada waktu yang diperlukan. Mutu jasa layanan dapat dilihat dari segi keterpercayaan (reliability), keterjaminan (assurance), penampilan (tangiability), kepemerhatian (empaty), dan ketanggapan (responsiveness). Jasa layanan itu dilakukan melalui proses pendidikan non formal guna meningkatkan kesadaran para pelaku sistem agribisnis (sasaran), yang dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui berbagai media cetak atau elektronik. Dengan demikian, sasaran penyuluhan diharapkan akan meningkat kemampuannya secara dinamis untuk dapat menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya. Sasaran penyuluhan atau para pelaku system agribisnis juga diharapkan kreatif, inovatif, berani dan bebas mengambil keputusan untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapinya dengan kekuatan dan kemampuan yang ada pada dirinya serta prospek pengembangan usahanya ke depan.


Materi penyuluhan tidak hanya mengenai teknis produksi saja, tetapi mencakup seluruh aspek teknis produksi, aspek manajemen agribisnis dan aspek hubungan sistem agribisnis dengan wawasan industri terutama etika kesisteman, kemampuan kewirausahaan, dan keperibadian sebagai pengusaha agribisnis agar pelaku sistem agribisnis dapat memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang: visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja bersama yang dirumuskan dengan cara terbuka. Tujuan penyuluhan sistem agribisnis harus jelas kearah terbentuknya perilaku agribisnis dengan wawasan industri. Metode penyuluhannya maupun media komunikasi yang digunakan agar lebih beragam, inovatif dan kreatif sesuai dengan kebutuhan dan target sasaran.

Uraian sebagaimana yang telah dipaparkan diatas menggambarkan tentang konsep penyuluhan sistem agribisnis, yang berbeda dengan penyuluhan sistem Bimas. Konsep penyuluhan sistem Bimas mengutamakan materi penyuluhan tentang Sapta Usaha Pertanian/Peternakan yang dilengkapi dengan penyediaan sarana kredit dan paket sapronak, tetapi tidak menekankan pentingnya manajemen hubungan sistem agribisnis. Penyuluhan sistem agribisnis sangat menekankan pentingnya manajemen hubungan sistem agribisnis atau koordinasi vertikal diantara para pelaku sistem agribisnis.

Penyuluhan sistem agribisnis menekankan perlunya penyamaan persepsi dan sikap tentang visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja bersama diantara para pelaku sistem agribisnis. Karena itu, kegiatan penyuluhan sistem agribisnis tidaklah adil jika hanya dilakukan kepada petani peternak saja. Petani memang memerlukan penyuluhan, tetapi para pelaku perusahaan agribisnis lainnya dan subsistem jasa penunjang yang terkait dalam sistem agribisnis juga perlu dilakukan penyuluhan. Jika hal ini berhasil, maka akan terbentuk hubungan yang harmonis dalam kebersamaan dan saling ketergantungan diantara para pelaku sistem agribisnis untuk menghasilkan visi, misi, etika bisnis, tujuan dan sasaran serta rencana kerja bersama agar dapat menghasilkan produk pertanian yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Selasa, Agustus 10, 2010

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1431 H

Allahumma bariklanaa fii rajab wa sya’ban wa balighna fii ramadhan ! Marhaban ya Ramadhan 1431 H jelang tiba bulan yang penuh Rahmat dan Maghfirah, bersihkan hati untuk meraih keridhoan ALLAH SWT dalam mencapai derajat Muttaqin. Mohon Maaf Lahir dan Batin atas segala salah dan khilaf !

Sabtu, Agustus 07, 2010

UPAYA UNTUK PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH


Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada hakekatnya merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM, maka kedepan perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut :

1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.


2. Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skim kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk Usaha Kecil dan Menengah(UKM) sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada, maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sampai saat ini BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar diseluruh Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM . Yang harus dilakukan sekarang ini adalah bagaimana mendorong pengembangan LKM ini berjalan dengan baik, karena selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan dalam legitimasi operasionalnya.

3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling
menguntungkan (win-win solution).


4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antara UKM, atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Disamping itu juga untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.


5. Pelatihan
Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam aspek kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta keterampilannya dalam pengembangan usahanya. Disamping itu juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.


6. Membentuk Lembaga Khusus
Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penumbuhkembangan UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh UKM.


7. Memantapkan Asosiasi
Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan perannya antara lain dalam pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha bagi anggotanya.


8. Mengembangkan Promosi
Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produk-produk yang dihasilkan. Disamping itu perlu juga diadakan talk show antara asosiasi dengan mitra usahanya.


9. Mengembangkan Kerjasama yang Setara
Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi antara pemerintah dengan dunia usaha (UKM) untuk menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir yang terkait dengan perkembangan usaha.

Selasa, Agustus 03, 2010

PERMASALAHAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

Pada umumnya permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara lain meliputi :

A. Faktor Internal
1. Kurangnya Permodalan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan pada modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh, karena persyaratan secara administrative dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi.

2. Sumber Daya Manusia (SDM) yang Terbatas
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.

3. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, oleh karena produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.

B. Faktor Eksternal
1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dengan pengusaha-pengusaha besar.

2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan.

3. Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan system ini akan mengalami implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Disamping itu semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.

4. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020 yang berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000) dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu maka diharapkan UKM perlu mempersiapkan agar mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

5. Sifat Produk Dengan Lifetime Pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk fasion dan kerajinan dengan lifetime yang pendek.

6. Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.

Kamis, Juli 29, 2010

PROFIL USAHA KECIL

Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp 200 juta (Sudisman & Sari, 1996: 5). 

Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250). 
 

Kendati beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam.  

Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Data BPS (1994) menunjukkan hingga saat ini jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang meliputi 15, 635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja tetap. 
 
Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. 
 
Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Menurut catatan BPS (1994), dari jumlah perusahaan kecil sebanyak sebanyak 124.990, ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris; 4,7 persen tergolong perusahaan perorangan berakta notaris; dan hanya 1,7 persen yang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Koperasi). 
 
Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri kayu,bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga (ISIC33) masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih sangat sedikit sekali yaitu kurang dari 1%.
Industri kecil dan rumah tangga (IKRT) memiliki peranan yang cukup besar dalam industri manufaktur dilihat dari sisi jumlah unit usaha dan daya serap tenaga kerja, namun lemah dalam menyumbang nilai tambah pada tahun 1990. 
 
Dari total unit usaha manufaktur di Indonesia sebanyak 1,524 juta, ternyata 99,2 persen merupakan unit usaha IKRT. IKRT, dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang, mampu menyediakan kesempatan kerja sebesar 67,3 persen dari total kesempatan kerja. Kendati demikian, sumbangan nilai tambah IKRT terhadap industri manufaktur hanya sebesar 17,8 persen. Banyaknya jumlah orang yang bekerja pada IKRT memperlihatkan betapa pentingnya peranan IKRT dalam membantu memecahkan masalah pengangguran dan pemerataan distribusi pendapatan. 
 
Data terbaru berdasarkan Sensus Ekonomi 1996 menunjukkan trend yang tidak berubah. Sekitar 99% jenis usaha bisnis di Indonesia tergolong sebagai IKRT. Selain dominan dalam jumlah unit usaha, ternyata tenaga kerja yang diserap oleh IKRT masih sekitar 59% dari total tenaga kerja yang terserap untuk sektor industri. Angka ini masih lebih besar dibanding industri besar dan menengah (IBM), yang hanya menampung tenaga kerja sekitar 41%.
Dilihat dari sebaran geografisnya, sama seperti IBM, IKRT terkonsentrasi di pulau Jawa. Kontribusi IKRT di Jawa terhadap total tenaga kerja dan omzet masing-masing sekitar 75%. Namun berbeda dengan IBM yang terkonsentrasi secara spasial di kota-kota besar, IKRT tersebar secara merata di luar ketiga kota metropolitan Jawa.

Rabu, Juli 21, 2010

PERANAN DAN PERMASALAHAN UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan strategis. Kondisi tersebut dapat dilihat dari berbagai data empiris yang mendukung bahwa eksistensi UMKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia, yaitu:

Pertama, jumlah industri yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Pada tahun 2005 tercatat jumlah UMKM adalah 44,69 unit atau 99,9% dari jumlah total unit usaha.

Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit investasi pada sektor UMKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UMKM menyerap 77,68 juta tenaga kerja atau 96,77% dari total angkatan kerja yang bekerja.

Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 54,22% dari total PDB.


Permasalahan UMKM :

  1. Permasalahan yang bersifat klasik dan mendasar pada UMKM (basic problems), antara lain berupa permasalahan modal, bentuk badan hukum yang umumnya non formal, SDM, pengembangan produk dan akses pemasaran;
  2. Permasalahan lanjutan (advanced problems), antara lain pengenalan dan penetrasi pasar ekspor yang belum optimal, kurangnya pemahaman terhadap desain produk yang sesuai dengan karakter pasar, permasalahan hukum yang menyangkut hak paten, prosedur kontrak penjualan serta peraturan yang berlaku di negara tujuan ekspor;
  3. Permasalahan antara (intermediate problems), yaitu permasalahan dari instansi terkait untuk menyelesaikan masalah dasar agar mampu menghadapi persoalan lanjutan secara lebih baik. Permasalahan tersebut antara lain dalam hal manajemen keuangan, agunan dan keterbatasan dalam kewirausahaan. Dengan pemahaman atas permasalahan di atas, akan dapat ditengarai berbagai problem dalam UMKM dalam tingkatan yang berbeda, sehingga solusi dan penanganannya pun seharusnya berbeda pula.
Dari sisi UMKM beberapa variabel penting yang masih rendah kinerjanya antara lain:

* kemudahan UMKM dalam memperoleh ijin;
* kemampuan UMKM untuk mengelola keuangan;
* ketepatan waktu dan jumlah perolehan kredit dan;
* tenaga kerja yang trampil.

Sedangkan dari sisi perbankan, variabel-variabel UMKM yang berkinerja rendah di antaranya adalah:

* kemampuan pengelolaan keuangan;
* kapabilitas pemasaran;
* ketrampilan tenaga kerja;
* kontrol kualitas dalam produksi.

Kamis, Juli 15, 2010

PENGEMBANGAN LAHAN KERING

Pengembangan pertanian lahan kering menggunakan pendekatan agribisnis, berarti agar berhasil mengembangkan pertanian lahan kering termasuk di dalamnya berhasil meningkatkan pendapatan petani, maka tidak hanya memikirkan pengembangan subsistem usahatani atau produksi saja, tetapi juga memikirkan pengembangan subsistem-subsistem lainnya yang menunjang keberhasilan subsistem usahatani tersebut.


Oleh karena itu, pengembangan keempat subsistem agribisnis secara simultan dan terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir dan secara horizontal antara berbagai sektor akan mampu menciptakan profit yang layak bagi petani di lahan kering. Secara umum, tahapan pengembangan pertanian lahan kering dengan pendekatan agribisnis adalah sebagai berikut:
  1. Lakukan evaluasi potensi wilayah, al.: kondisi fisik dan kesuburun lahan, kondisi agroekosistem, dll.;
  2. Identifikasi jenis tanaman dan ternak yang telah ada dan baru yang cocok dikembangkan di wilayah tersebut dan bagaimana sistem irigasinya, apakah irigasi sumur bor dengan sistem perpipaan atau irigasi tetes (drip irrigation) atau hanya mengandalkan tadah hujan;
  3. Adakah tersedia sarana produksi dan teknologi, seperti benih, pupuk, pakan, pestisida, alat dan mesin (alsintan), obat-obatan yang dibutuhkan jika mengusahakan tanaman dan ternak pada butir 2. Jika tersedia apakah terjangkau oleh petani setempat ?;
  4. Bagaimana dengan pascapanennya. Apakah teknologinya dikuasai atau belum. Jika belum perlu dicari tahu teknologi pasca panennya;
  5. Apakah mungkin kelak produksinya diolah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Jika mungkin bagaimana dengan penguasaan teknologinya. Jika belum dikuasai perlu dicari tahu tentang teknologi pengolahannya;
  6. Kemana kelak produksinya dipasarkan, apakah pasar lokal, antar pulau, atau ekspor;
  7. Masih adakah peluang pasar dan jika ada siapa target pasarnya (masyarakat umum, wisatawan) atau kelas bawah, menengah atau kelas atas;
  8. Adakah strategi pemasaran untuk memenangkan persaingan terhadapBcompetitor produk sejenis;
  9. Tersediakah prasarana penunjang, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, terminal, alat transportasi yang melancarkan pengaliran produk dari petani ke pasar atau konsumen;
  10. Adakah kelembagaan penunjang, seperti lembaga perkreditan, lembaga penyuluhan, kelompok tani, lembaga penelitian, peraturan/kebijakan pemerintah yang kondusif, koperasi, dll.;
  11. The last but not least, bersediakah petani diajak melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya lahan kering yang dimilikinya. Jika tidak atau belum tersedia, lakukan proses penyadaran secara terus-menerus pentingnya melakukan inovasi demi meningkatkan produktivitas dan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Di sini proses penyuluhan memegang peranan penting. Belajarlah dari sukses swasembada beras selama pemerintahan Orde Baru, yang mampu merubah sikap mental petani padi menjadi innovation minded.

Jumat, Juli 09, 2010

AGRIBISNIS DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

Menurut teori ekonomi sederhana, nilai moneter dari suatu produk akan terbagikan habis (exhausted) kepada pembayaran faktor-faktor produksi yang terlibat dalam menghasilkan produk yang bersangkutan. Oleh karena itu, agar manfaat ekonomi dari pembangunan ekonomi daerah dapat dinikmati secara nyata oleh rakyat daerah yang bersangkutan, maka kegiatan ekonomi yang dikembangkan dalam pembangunan ekonomi daerah haruslah kegiatan ekonomi yang mendayagunakan sumber daya yang terdapat atau dikuasai/dimiliki daerah yang bersangkutan.

Saat ini, sumber daya ekonomi yang dikuasai oleh rakyat di setiap daerah adalah sumber daya agribisnis, yaitu sumber daya agribisnis berbasis tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Oleh karena itu, cara yang paling efektif untuk mengembangkan perekonomian daerah adalah melalui pengembangan agribisnis. Pengembangan agribisnis yang dimaksud bukan hanya pengembangan pertanian primer atau subsistem on farm agribusiness, tetapi juga mencakup subsistem agribisnis hulu (up stream agribusiness), yaitu industri-industri yang menghasilkan sarana produksi bagi pertanian primer, seperti industri pembibitan/perbenihan, industri agro-otomotif, industri agro-kimia, dan subsistem agribisnis hilir (down stream agribusiness), yaitu industri-industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan beserta kegiatan perdagangannya.

Pengembangan agribisnis di setiap daerah jangan hanya puas pada pemanfaatan kelimpahan sumber daya yang ada (factor driven) atau mengandalkan keunggulan komparatif (comparative advantage) seperti sekarang ini, tetapi secara bertahap harus dikembangkan ke arah agribisnis yang didorong oleh modal mane-made (capital driven) dan kemudian kepada agribisnis yang didorong oleh inovasi (innovation driven). Dengan perkataan lain, keunggulan komparatif agribisnis pada setiap daerah ditranformasi menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage) melalui pengembangan mutu sumber daya manusia, teknologi, kelembagaan dan organisasi ekonomi lokal yang telah ada pada masyarakat setiap daerah (bukan menggantikannya dengan sesuatu yang benar-benar baru).

Dengan transformasi agribisnis seperti ini, kemampuan rakyat untuk menghasilkan produk-produk agribisnis yang saat ini masih didominasi oleh produk-produk yang bersifat natural resources and unskill labor based, secara bertahap beralih kepada produk-produk agribisnis yang bersifat capital and skill labor based dan kemudian kepada produk yang bersifat knowledge and skill labor based. Dengan transformasi produk agribisnis yang demikian, maka produk-produk agribisnis yang dihasilkan oleh setiap daerah dapat mampu bersaing dan memasuki segmen pasar yang lebih luas di pasar internasional. Pengembangan produk yang demikian juga akan memperbesar manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh rakyat di setiap daerah.

Pengembangan agribisnis di setiap daerah harus juga disertai dengan pengembangan organisasi ekonomi, khususnya rakyat petani, agar manfaat ekonomi yang dihasilkan dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat dan daerah. Di masa lalu, rakyat petani (bahkan daerah sentra-sentra agribisnis) hanya menikmati nilai tambah dari subsistem on farm agribisnis yang umumnya relatif kecil. Nilai tambah yang paling besar, yakni pada subsistem agribisnis hulu dan hilir, dinikmati oleh para pedagang atau pengusaha luar daerah. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pendapatan petani tetap rendah dan ekonomi daerah sentra-sentra agribisnis kurang berkembang.

Di masa yang akan datang, para petani harus diikutsertakan untuk menikmati nilai tambah pada subsistem agribisnis hulu dan hilir melalui pengembangan koperasi agribisnis yang ikut mengelola subsistem agribisnis hulu dan hilir melalui usaha patungan (joint venture) dengan pengusaha swasta atau BUMN/BUMD yang saat ini telah exist pada subsistem tersebut. Jika pengembangan agribisnis yang demikian dapat berlangsung di setiap daerah, maka perekonomian daerah akan mampu berkembang lebih cepat. Setiap peningkatan perkembangan agribisnis di daerah akan secara langsung mendorong pengembangan ekonomi daerah, karena sebagian besar nilai tambah agribisnis akan tertahan di daerah yang bersangkutan. Selanjutnya peningkatan pendapatan rakyat di daerah akan menarik perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya di luar agribisnis, sehingga kesempatan-kesempatan ekonomi baru akan berkembang di setiap daerah.

Meningkatnya kesempatan ekonomi baru di setiap daerah akan mampu menghambat arus urbanisasi, bahkan sebaliknya mampu mendorong ruralisasi sumber daya manusia, sehingga penduduk yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa akan menyebar ke seluruh daerah tanpa program transmigrasi.

Sumber : Husainie Syahrani, 2001, Penerapan Agropolitan dan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Daerah, Frontir Nomor 33

Jumat, Juli 02, 2010

PEMBEDA AGRIBISNIS DARI BISNIS YANG LAIN


Saragih (1998) mengemukakan lima karakteristik penting agribisnis yang membedakannya dari bisnis lain.

Pertama, keunikan dalam aspek sosial, budaya, dan politik. Keberagaman sosial-budaya manusia turut membentuk keberagaman struktur, perilaku, dan kinerja agribisnis. Keberagaman ini dapat diamati baik dari segi produsen maupun konsumen. Jenis usahatani rakyat di Jawa dan Bali didominasi oleh usahatani lahan sawah. Sementara di luar Jawa dan Bali jenis usahatani yang menonjol adalah perkebunan rakyat. Petani asal etnis Bali yang terkenal ulet dan tekun relatif lebih berhasil dalam mengembangkan agribisnis di wilayah transmigrasi dari pada etnis lain untuk komoditas yang sama. Fragmentasi lahan pertanian terjadi di Indonesia, tetapi tidak di Jepang karena di negara ini hanya anak pertama yang berhak mewarisi lahan pertanian sedangkan di Indonesia semua anak berhak mewarisi. Dari segi konsumen, keberagaman sosial budaya konsumen mempengaruhi konsumsi pangan yang selanjutnya mempengaruhi agribisnis yang berkembang.

Kedua, keunikan karena adanya ketidakpastian (uncertainty) dalam produksi pertanian yang berbasis biologis. Ilmu genetika menunjukkan bahwa variasi produksi tanaman dipengaruhi oleh variasi genetik, lingkungan (macroclimate, microclimate), dan interaksi genetik dengan lingkungan. Berdasarkan ketiga faktor ini dikenal berbagai macam komoditas agribisnis tropis dan subtropis; komoditas agribisnis yang memiliki toleransi lingkungan yang luas (misalnya ubi jalar), komoditas spesifik lokasi (kelapa sawit, sapi perah, dll). Bahkan untuk komoditas yang sama, misalnya jeruk, dikenal rasa yang beraneka macam dari pahit sampai yang paling manis. Dengan dasar biologis juga dikenal bahwa produk agribisnis bersifat voluminous, bulky, dan perishable yang membedakannya dengan produk-produk non-agribisnis.

Ketiga, keunikan dalam derajat atau intensitas campur tangan politik dari pemerintah. Produk-produk agribisnis khususnya bahan pangan merupakan kebutuhan dasar (basic needs) dan sering dipandang sebagai komoditas politik sehingga sering diintervensi oleh politik pemerintah. Sektor agribisnis juga sering diproteksi sangat tinggi, seperti di Jepang, guna mempertahan sebagian wilayahnya tetap sebagai ekosistem pertanian.

Keempat, keunikan dalam kelembagaan pengembangan teknologi. Peranan sektor agribisnis yang sangat penting dalam setiap negara menyebabkan pengembangan teknologi pada sektor ini menjadi salah satu bentuk layanan umum yang disediakan oleh pemerintah. Di Indonesia misalnya, kelembagaan pengembangan teknologi di bidang agribisnis, seperti Balai Penelitian Padi di Sukamandi, dibiayai oleh anggaran pemerintah. Hal ini berbeda dengan industri non-agribisnis yang pada umumnya dibiayai oleh perusahaan swasta itu sendiri.

Kelima, perbedaan struktur persaingan. Agribisnis merupakan satu-satunya sektor ekonomi yang paling banyak melibatkan pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi pada sektor agribisnis, produsen dan konsumen, pada umumnya berukuran relatif kecil dibandingkan dengan besarnya pasar. Selain itu, hampir semua komoditas agribisnis memiliki produk substitusi. Karakteristik seperti ini menunjukkan bahwa struktur pasar agribisnis lebih mendekati struktur pasar persaingan sempurna. Hal ini berbeda dengan struktur pasar pada industri lain yang pada umumnya berkisar antara struktur pasar monopolistik atau monopsonistik hingga oligopolistik atau oligopsonistik.

Minggu, Juni 27, 2010

KARAKTERISTIK PRODUK PERTANIAN

KARAKTERISTIK PRODUK PERTANIAN SKALA KECIL :
A. Karakteristik produk ditinjau dari proses produksinya :
  1. Produk musiman
  2. Produk yang dihasilkan melalui proses biologis tumbuhan
  3. Produk yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pada saat itu

B. Karakteristik produk ditinjau dari handling product :
  1. Perlakuan pascapanennya untuk meningkatkan nilai tambah sangat minim dilakukan
  2. Kehilangan hasil saat panen relatif besar
  3. Produk mudah rusak (perishibel) dan memakan tempat.


C. Karakteristik produk ditinjau dari pemasaran produk :
  1. Harga produk relatif murah _ produsen sebagai price taker dan efek dari asimetri informasi, bargainning potition yang rendah di produsen
  2. Fluktuasi harga relatif tajam
  3. Produk bersifat generik _ memasuki pasar yang cenderung bersifat monopsoni atau oligopsoni
  4. Jumlah produk yang dipasarkan pada umumnya tidak memenuhi skala ekonomi (jumlah relatif kecil)
  5. Produk melalui rantai pemasaran yang relatif panjang untuk sampai pada konsumen
  6. Pada umumnya produk tidak mengalami perubahan bentuk
  7. Resiko pemasaran relatif tinggi karena fluktuasi harga dan sifat mudah rusaknya produk pertanian
  8. Elastisitas harga produk relatif lebih rendah

KARAKTERISTIK PRODUK PERTANIAN SKALA BESAR :
A. Karakteristik produk ditinjau dari proses produksinya :
  1. Produk musiman
  2. Produk yang dihasilkan melalui proses biologis tumbuhan
  3. Produk yang dihasilkan dipengaruhi oleh teknologi yang meminimalisir pengaruh lingkungan

B. Kharakteristik produk ditinjau dari handling product :
  1. Perlakuan pasca panennya dalam rangka menjaga kualitas produk dan menghasilkan nilai tambah (added value)
  2. Kehilangan hasil saat panen relatif lebih kecil
  3. Produk mudah rusak (perishibel) dan memakan tempat

C. Karakteristik produk ditinjau dari pemasaran produk :
  1. Harga produk relatif lebih mahal _ produsen memiliki bargainning potition yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan mengakses pasar konsumen
  2. Fluktuasi harga relatif relatif lebih rendah karena kemampuan mendistribusikan produk dan melihat peluang pasar _ ada perencanaan produksi
  3. Produk terstandarisasi dan melalui serangkaian proses pemberian atribut produk untuk menciptakan nilai tambah dan positioning produk
  4. Jumlah produk yang dipasarkan pada umumnya memenuhi skala ekonomi (jumlah relatif besar) dan melalui perencanaan pemasaran yang lebih baik (marketing plan)
  5. Produk untuk sampai pada konsumen tidak melalui rantai pemasaran yang panjang bahkan cenderung dari titik produsen langsung ke pasar dilakukan oleh produsen sendiri
  6. Unit pengolahan hasil (agroindustri) dan produksi sangat dekat sehingga sangat dimungkinkan adanya perubahan bentuk dan atau perubahan struktur kimia produk atas pengolahan yang dilakukan
  7. Respon atas perubahan pasar relatif lebih cepat dan mempertimbangkan mekanisme pengalihan resiko
  8. Elastisitas harga produk relatif lebih tinggi

Jumat, Juni 18, 2010

PERANAN AGRIBISNIS


Pertama, peranan agribisnis dalam pembentukan PDB. Sampai saat ini non-migas menyumbang sekitar 90 persen PDB, dan agribisnis merupakan penyumbang terbesar dalam PDB non-migas. Diperkirakan kontribusi agribisnis, dalam PDB non-migas, mencapai 80.5 persen pada tahun 1995 dan menjadi sekitar 70 persen pada tahun 1997.
Kedua, peranan agribisnis dalam penyerapan tenaga kerja. Karakteristik teknologi yang digunakan dalam agribisnis bersifat akomodatif terhadap keragaman kualitas tenaga kerja, sehingga tidak mengherankan agribisnis menjadi penyerap tenaga kerja nasional yang terbesar. Pada tahun 1987 sekitar 78 persen tenaga kerja berada di bidang agribisnis, dimana sektor pertanian menjadi penyerap yang terbesar, yaitu 55 persen.
Ketiga, peranan agribisnis dalam perolehan devisa. Selama ini selain ekspor migas, hanya agribisnis yang mampu memberikan net-ekspor secara konsisten. Bahkan sejak 1993 net-ekspor agribisnis telah mampu melampaui net-ekspor migas.
Keempat, peranan agribisnis dalam penyediaan bahan pangan. Ketersediaan berbagai ragam dan kualitas pangan dalam jumlah pada waktu dan tempat yang terjangkau masyarakat merupakan prasyarat penting bagi keberhasilan pembangunan di Indonesia.
Kelima, peranan agribisnis dalam mewujudkan pemerataan hasil pembangunan (equity). Pemerataan pembangunan sangat ditentukan oleh 'teknologi' yang digunakan dalam menghasilkan output nasional, yaitu apakah bias atau pro terhadap faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh rakyat banyak. Saat ini faktor produksi yang banyak dimiliki oleh sebagian besar rakyat adalah sumberdaya lahan, flora dan fauna, serta sumberdaya manusia. Untuk mewujudkan pemerataan di Indonesia perlu digunakan 'teknologi' produksi output nasional yang banyak menggunakan sumberdaya tersebut, yaitu agribisnis
Keenam, peranan agribisnis dalam pelestarian lingkungan. Kegiatan agibisnis yang berlandaskan pada pendayagunaan keanekaragaman ekosistem di seluruh tanah air memiliki potensi melestarikan lingkungan hidup.

Rabu, Juni 02, 2010

Reorientasi Pembangunan Ekonomi

BADAI krisis yang melanda Indonesia sejak akhir tahun 1997 yang lalu merupakan malapetaka nasional yang sangat pelik untuk diatasi. Mulai dari krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, sampai kepada implikasinya yang berupa krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan berujung pada krisis politik. Krisis demi krisis tersebut timbul sebagai akibat berantai dari keberhasilan semu peran rejim orde baru dalam mengantarkan Bangsa Indonesia mencapai cita-cita kemerdekaan di berbagai aspek kehidupan. Keberhasilan pembangunan ekonomi dan politik yang dibanggakan selama ini hanyalah merupakan keberhasilan semu yang tidak memiliki fondasi yang kuat untuk keberkelanjutannya.


Pembangunan ekonomi selama rejim orde baru secara fisik cukup berhasil, namun secara fundamental sangat rapuh. Orientasi pembangunan selama rejim orde baru secara konseptual juga meyakinkan. Namun, secara praktis dan operasional sangat buruk dan tidak efisien. Tidak dapat disembunyikan lagi bahwa Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) telah terjadi di mana-mana, mulai dari aparat desa sampai aparat pemerintah pusat, baik eksekutif dan legeslatif maupun lembaga-lembaga negara yang lain. Konglomerasi yang merugikan, serta praktek-praktek monopoli dan kartel yang menyengsarakan masyarakat banyak telah terjadi di berbagai industri dan pasar komoditas.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Indonesia perlu mengadakan reorientasi pembangunan ekonomi dalam semangat reformasi. Masyarakat jangan sampai terjebak oleh rasa pesimistik atau terbawa oleh arus kepentingan politik golongan tertentu. Semua anak bangsa bertanggung jawab atas masa depan bangsa Indonesia, dan memprioritaskan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secepat mungkin.

Orientasi pembangunan ekonomi mulai sekarang harus diarahkan pada peletakan dasar fundamental ekonomi yang kuat yang berbasis pada domestic resources dan berakar pada ekonomi rakyat. Peletakkan fondasi dan akar yang kuat tersebut akan sendirinya dapat bertumbuh secara alamiah, sehingga ibarat suatu tanaman tinggal memerlukan perlakuan-perlakuan untuk mempercepat dan memperbesar hasilnya. Perlakuan-perlakuan tersebut adalah berbagai kebijakan dalam bidang pengembangan ekonomi yang menunjang.

Peletakan dasar pembangunan ekonomi yang resource based, berakar pada ekonomi rakyat dan memenuhi prasyarat-prasyarat prioritas sektoral tersebut adalah pembangunan agribisnis dan agroindustri yang tangguh, yang dalam jangka pendek diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan dalam jangka panjang untuk pelaksanaan ekspor dan perolehan devisa. Sektortersebut disamping berbasis domestic resources juga sangat strategis untuk dikembangkan dengan dukungan alamiah yang sangat relevan, sehingga bidang tersebut sangat strategis untukdijadikan basis pembangunan industri dan ekonomi nasional secara konsisten dan konsekuen.

Sumber:
E. Gumbira-Sa'id dan A. Harizt Intan, Majalah USAHAWAN N0. 10 Th. XXVII Oktober 1998

Selasa, Juni 01, 2010

SUBSISTEM AGRIBISNIS

Empat Subsistem Agribisnis :
  1. Subsistem agribisnis hulu((upstream agribusiness) (off-farm), Kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana produksi bagi pertanian, seperti industri dan perdagangan agrokimia (pupuk, pestisida, dll), industri agrootomotif (mesin dan peralatan), dan industri benih/bibit.
  2. Subsistem produksi/usahatani (on-farm agribusiness), kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan oleh subsistem agribisnis hulu untuk menghasilkan produk pertanian primer. Termasuk ke dalam subsistem usahatani ini adalah usaha tanaman pangan, usaha tanaman hortikultura, usaha tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha perikanan, usaha peternakan, dan kehutanan.
  3. Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness)(off-farm), berupa kegiatan ekonomi yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan perdagangan di pasar domestik maupun di pasar internasional. Kegiatan ekonomi yang termasuk dalam subsistem agibisnis hilir ini antara lain adalah industri pengolahan makanan, industri pengolahan minuman, industri pengolahan serat (kayu, kulit, karet, sutera, jerami), industri jasa boga, industri farmasi dan bahan kecantikan, dan lain-lain beserta kegiatan perdagangannya.
  4. Subsistem lembaga penunjang (off-farm), seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga transportasi, lembaga pendidikan, dan lembaga pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter, perdagangan internasional, kebijakan tata-ruang, serta kebijakan lainnya).

Rabu, Mei 26, 2010

PENGEMBANGAN INDUSTRIALISASI PEDESAAN BERBASIS PERTANIAN

Prasyarat berkembangnya industrialisasi pedesaan, adalah diperlukan adanya suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam suatu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, setiap usaha agribisnis tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung dalam assosiasi horizontal, tetapi memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (hulu-hilir) dalam suatu kelompok usaha.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam mendukung pengembangan industrialisasi pedesaan berbasis pertanian, antara lain:

Disadari bahwa selama ini keberpihakan pada kegiatan yang terkait dalam industrialisasi pedesaan berbasis pertanian masih tertinggal, dibandingkan dengan kegiatan di sektor hulu. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang menyeluruh dalam pembangunan agribisnis (hulu-hilir), sehingga nilai tambah sektor pertanian dapat dinikmati oleh masyarakat di pedesaan.

Pengembangan penanganan industriualisasi pedesaan berbasis pertanian ke depan tidak dapat dilakukan secara partial, oleh karena itu pendekatan koordinasi antar kelembagaan terkait yang telah dirintis perlu ditingkatkan baik di tingkat pusat, daerah dan di lembaga penyuluhan. Koordinasi tersebut dimaksudkan antara lain untuk mensinkronkan program dan pelaksanaan perbaikan penanganan pascapanen, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian agar dapat memberikan hasil/dampak yang maksimal.

Pengembangan agroindustri di masa yang akan datang diarahkan untuk meningkatkan peran teknologi melalui penambahan jumlah alsin yang masih sangat terbatas. Dalam penambahan alsin tersebut perlu memperhatikan jenis alat dan mesin yang secara teknis dan ekonomi layak untuk dikembangkan serta kondisi sosial memungkinkan. Dalam pengembangan alsin tersebut pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas kredit alsin dengan tingkat suku bunga rendah dan persyaratan lunak.

Dalam penanganan pascapanen/pengolahan, pelaku pascapanen (petani/kelompok tani), usaha yang bergerak dalam pascapanen, dan industri pengolahan hasil primer, perlu ditata dan diperkuat sebagai komponen dari sistem perekonomian di pedesaan terutama di bidang teknologi alsin dan manajemen usaha agar mereka mampu meraih nilai tambah.

Peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) diarahkan untuk peningkatan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan pengembangan kewirausahaan, manajemen serta kemampuan perencanaan usaha. Dengan adanya peningkatan mutu SDM diharapkan penggunaan alsin akan meningkat dan areal yang dapat ditangani akan bertambah. Peningkatan mutu SDM dilakukan melalui pelatihan/kursus, kerjasama dengan lembaga pelatihan seperti perguruan tinggi, magang diperusahaan yang telah maju. Sedangkan pelatihan dilakukan baik kepada petugas maupun para pengelola alsintan dan petani.

Kelembagaan yang menangani pascapanen/pengolahan pada umumnya lemah dalam permodalan. Untuk itu perlu diupayakan adanya skim khusus untuk alat mesin pascapanen/pengolahan dengan persyaratan yang mudah, suku bunga rendah dan dapat dijangkau oleh masyarakat.

Sabtu, Februari 13, 2010

KERAGAAN INDUSTRI PEDESAAN

Industri pedesaan merupakan salah satu roda penggerak perekonomian pedesaan. Dengan berkembangnya industri pedesaan terutama industri pengolahan hasil pertanian diharapkan dapat menyerap hasil-hasil pertanian di pedesaan. Untuk mengembangkan industri pedesaan tidaklah mudah karena adanya berbagai kendala. Kendala utama yang sering dihadapi industri pedesaan selain permodalan dan pasar adalah teknologi. Teknologi merupakan aspek yang sangat penting dalam pengolahan hasil pertanian. Dengan teknologi, maka proses pengolahan hasil pertanian dapat dilakukan secara efisien. Selama ini telah tersedia berbagai teknologi pengolahan hasil pertanian, namun demikian penerapan teknologi pengolahan hasil pertanian tersebut masih kurang intensif terutama pada industri skala kecil/rumah tangga di pedesaan.

Teknologi pengolahan hasil pertanian yang telah tersedia sampai saat ini antara lain teknologi proses (pengecilan ukuran, pemotongan, pencampuran, pemisahan, pengawetan dan sebagainya), teknologi pengemasan, dan teknologi penyimpanan. Teknologi pengolahan hasil pertanian tersebut selama ini belum dimanfaatkan secara optimal.

Alih teknologi pengolahan hasil pertanian sudah banyak dilakukan, namun masih sebatas pada sosialisasi dan apresiasi teknologi pengolahan hasil pertanian. Demikian pula bimbingan teknis penerapan teknologi pengolahan hasil pertanian, juga sudah banyak dilakukan namun masih sebatas pada pelatihan-pelatihan teknologi pengolahan hasil pertanian.

Pengolahan hasil pertanian pada industri skala kecil/rumah tangga mulai dari pemilihan bahan baku, pengolahan, pengemasan sampai penyimpanan, umumnya masih dilakukan secara sederhana dengan menggunakan teknologi sederhana sehingga produk yang dihasilkan mutunya masih rendah dan kurang kompetitif. Oleh karena itu, untuk mewujudkan industri pedesaan yang mampu menghasilkan produk-produk olahan yang bermutu dan memiliki daya saing maka perlu dikembangkan cara-cara pengolahan hasil pertanian yang berorientasi Good Manufacturing Practices (GMP). Selain itu, untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan perlu diterapkan Hazards Analysis Critical Control Point (HACCP). Dengan menerapkan GMP dan HACCP pada industri pengolahan di pedesaan diharapkan dapat meningkatkan mutu dan nilai tambah secara optimal sehingga dapat memberikan konstribusi yang signifikan pada perekonomian pedesaan.

Senin, Februari 01, 2010

PERMASALAHAN INDUSTRI PEDESAAN

Penerapan teknologi pengolahan hasil pertanian saat ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, hal ini disebabkan antara lain karena keterbatasan informasi tentang teknologi tersebut dan perhatian pemerintah terhadap peningkatan nilai tambah selama ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan upaya produksi hasil pertanian. Sehingga perkembangan penanganan pascapanen dan pengolahan hasil hingga dewasa ini masih berjalan lambat dan masih belum sesuai dengan harapan. Hal ini terlihat dari lambatnya perkembangan penggunaan teknologi dan penerapannya. Dampak yang terlihat antara lain masih tingginya tingkat kehilangan hasil pascapanen, mutu hasil olahan yang masih rendah, tingkat efisiensi dan efektifitas hasil yang masih rendah, nilai jual yang kurang kompetitif dan penampakan hasil (keragaan hasil) yang belum memuaskan (terutama masalah pengemasan, pewarnaan, pengawetan dan pelabelan).

Lambatnya penyerapan penerapan teknologi pengolahan hasil tersebut berimplikasi pada industri pedesaan yang kurang berkembang antara lain disebabkan oleh faktor teknis, sosial maupun ekonomi.

a. Teknis
Dari segi teknis beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain :
  1. Tingkat pengetahuan dan kesadaran petani akan pentingnya penerapan teknologi pengolahan hasil masih sangat terbatas. 
  2. Kurangnya tenaga yang terampil (Techknical Skill) dalam mengoperasikan alat mesin pengolaha. 
  3. Dukungan perbengkelan dalam perbaikan, perawatan dan penyediaan suku cadang alat mesin masih rendah karena kemampuan permodalan bengkel alsintan masih lemah dan kesulitan dalam memperoleh permodalan. 
  4. Introduksi beberapa teknologi belum sesuai dengan kebutuhan petani dan belum bersifat lokal spesifik. 
  5. Belum memadainya infrastruktur seperti jalan yang memadai sehingga menyulitkan petani/kelompok dalam memasarkan produk olahannya. 
  6. Penyebaran alsin pengolahan masih terbatas. 
  7. Kurangnya tenaga pembina yang terampil dalam bidang pengolahan dibanding tenaga pembina pada kegiatan-kegiatan prapanen.

b. Sosial
Dari segi sosial beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain
  1. Introduksi teknologi pengolahan pada daerah-daerah yang padat penduduknya ada kecenderungan menimbulkan gesekan/friksi sosial.
  2. Kebiasaan petani dalam melakukan kegiatan pengolahan secara tradisional menyulitkan dalam penerapan teknologi yang baik dan benar. 
  3. Daerah-daerah tertentu yang mempunyai budaya pengolahan hasil yang teknologinya diterima secara turun temurun, sehingga mereka sering mempunyai sifat tertutup terhadap introduksi teknologi. 
  4. Terbatasnya kemampuan akses informasi masyarakat tentang teknologi pengolahan
  5. Karena rendahnya pendidikan.
c. Ekonomi
Dari segi ekonomi beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain
  1. Daya beli petani terhadap teknologi pengolahan rendah, sehingga permintaan alsin juga relatif rendah. 
  2. Harga alsin pengolahan relatif tinggi sehingga kurang efisien.
  3. Belum tersedianya skim kredit khusus untuk pengadaan alsin untuk usaha pengolahan hasil.