Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu 'bio' yang berarti makhuk hidup dan 'teknologi' yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari paduan dua kata tersebut European Federation of Biotechnology (1989) mendefinisikan bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan ilmu rekayasa yang bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian dari organisme hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan jasa (Goenadi & Isroi, 2003).
Dengan definisi tersebut bioteknologi bukan merupakan sesuatu yang baru. Dimulai dari nenek moyang kita, pemanfaatkan mikroba telah dilakukan untuk membuat produk-produk berguna seperti tempe, oncom, tape, arak, terasi, kecap, yogurt, dan nata de coco . Hampir semua antibiotik berasal dari mikroba, demikian pula enzim-enzim yang dipakai untuk membuat sirop fruktosa hingga pencuci pakaian. Dalam bidang pertanian, mikroba penambat nitrogen telah dimanfaatkan sejak abad ke 19. Mikroba pelarut fosfat telah dimanfaatkan untuk pertanian di negara-negara Eropa Timur sejak tahun 1950-an. Mikroba juga telah dimanfaatkan secara intensif untuk mendekomposisi limbah dan kotoran. Bioteknologi memiliki gradien perkembangan teknologi, yang dimulai dari penerapan bioteknologi tradisional yang telah lama dan secara luas dimanfaatkan, hingga teknik-teknik bioteknologi baru dan secara terus menerus berevolusi
Perkembangan bioteknologi secara drastis terjadi sejak ditemukannya struktur helik ganda DNA dan teknologi DNA rekombinan di awal tahun 1950-an. Ilmu pengetahuan telah sampai pada suatu titik yang memungkinkan orang untuk memanipulasi suatu organisme di taraf seluler dan molekuler. Bioteknologi mampu melakukan perbaikan galur dengan cepat dan dapat diprediksi, juga dapat merancang galur dengan bahan genetika tambahan yang tidak pernah ada pada galur asalnya. Memanipulasi organisme hidup untuk kepentingan manusia bukan merupakan hal yang baru. Bioteknologi molekuler menawarkan cara baru untuk memanipulasi organisme hidup.
Seperti halnya teknologi-teknologi yang lain, aplikasi bioteknologi untuk pertanian selain menawarkan berbagai keuntungan juga memiliki potensi risiko kerugian. Keuntungan potensial bioteknologi pertanian antara lain: potensi hasil panen yang lebih tinggi, mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida, toleran terhadap cekaman lingkungan, pemanfaatan lahan marjinal, identifikasi dan eliminasi penyakit di dalam makanan ternak, kualitas makanan dan gizi yang lebih baik, dan perbaikan defisiensi mikronutrien (Jones, 2003). Satu pendekatan baru yang sedang mendapatkan banyak perhatian adalah Bio-farming , seperti antibiotika dalam buah pisang.
Potensi risiko bioteknologi terhadap pertanian dan lingkungan – walaupun masih dalam perdebatan - antara lain efek balik terhadap organisme non-target, pembentukan hama resisten, dan transfer gen yang tidak diinginkan yang meliputi transfer gen ke tanaman liar sejenis, transfer gen penyandi untuk produksi gen toksik, dan transfer gen resisten antibiotik melalui gen penanda ( marker ) antibiotik. Beberapa kritikan menyebutkan bahwa modifikasi DNA rekombinan menyebabkan pangan tidak aman untuk dimakan. Kelompok pecinta lingkungan mengkritik bahwa organisme trasgenik menyebabkan kerusakan keragaman hayati, karena membunuh organisme liar yang berguna, atau membuat organisme invasif yang dapat merusak lingkungan (Conko, 2003).
Terlepas dari perdebatan keuntungan dan kerugian di atas, prinsip ”kehati-hatian” harus dikedepankan dalam aplikasi bioteknologi untuk agribisnis, khususnya rekayasa genetika. Pelajaran yang baik dapat kita peroleh dari pengalaman Revolusi Hijau yang semula dianggap aman, namun intensifikasi penggunaan pupuk dan pestisida terbukti berakibat buruk terhadap lingkungan dan baru diketahui setelah beberapa puluh tahun kemudian.
Sumber : ipard.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar