Kamis, Desember 31, 2009
AGROINDUSTRI
Senin, Desember 21, 2009
Peningkatan Daya Saing Industri Minyak Atsiri
Jumat, Desember 11, 2009
PERANAN PENYULUH PERTANIAN
Sistem penyuluhan pertanian di dalam otonomi daerah adalah sistem penyuluhan pertanian yang digerakkan oleh petani dengan demikian petani harus dimampukan, diberdayakan, sehingga petani memiliki keahlian-keahlian yang dapat menyumbangkan kegiatannya ke arah usahatani yang moderen dan mampu bersaing, mampu menjalin jaringan kerja sama diantara sesama petani maupun dengan kelembagaan sumber ilmu/teknologi, serta mata rantai agribisnis yang peluangnya tersedia. Jadi pada akhirnya petani akan menyelenggarakan sendiri kegiatan penyuluhan pertanian, dari petani, oleh petani dan untuk petani (konsep Penyuluh Swakarsa).
Ada kecenderungan petani tidak mempunyai pengetahuan serta wawasan yang memadai untuk dapat memahami permasalahn mereka, memikirkan permasalahannya, atau memilih pemecahan masalah yang paling tepat untuk mencapai tujuan mereka. Ada kemungkinan pengetahuan mereka berdasarkan kepada informasi yang keliru karena kurangnya pengalaman, pendidikan, atau faktor budaya lainnya. Terbatasnya pengetahuan, sikap dan keterampilan petani, sangat berpengaruh terhadap kemampuan untuk berusaha tani yang lebih baiksehingga kualitas, kuantitas produksi pertanian berkurang dan tidak berorientasi agribisnis. Hal ini ditandai dengan rendahnya produktifitas komoditas pertanian sehingga belum mencukupi ketersediaan dan keamanan pangan.
Peranan dari penyuluh pertanian sebagai fasilitator, motivator dan sebagai pendukung gerak usaha petani merupakan titik sentral dalam memberikan penyuluhan kepada petani – nelayan akan pentingnya berusaha tani dengan memperhatikan kelestarian dari sumber daya alam. Kesalahan dalam memberikan penyuluhan kepada petani – nelayan akan menimbulkan dampak negatif dan merusak lingkungan. Proses penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan baik dan benar apabila didukung dengan tenaga penyuluh yang profesional, kelembagaan penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang terus-menerus mengalir, sistem penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta metode penyuluhan yang tepat dan manajemen penyuluhan yang polivalen. Dengan demikian penyuluhan pertanian sangat penting artinya dalam memberikan modal bagi petani dan keluargannya, sehingga memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai tujuan dalam memperbaiki kesejahteraan hidup petani dan keluarganya, tanpa harus merusak lingkungan di sekitarnya.
Tugas seorang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) adalah meniadakan hambatan yang dihadapi seorang petani dengan cara menyediakan informasi dan memberikan pandangan mengenai masalah yang dihadapi. Informasi tentang pengelolaan sumber daya alam dengan teknologi yang baik dan benar sesuai dengan kondisi lahan sangat bermanfaat bagi petani – nelayan untuk meningkatkan hasil produksinya tanpa harus merusak lingkungan usaha taninya sehingga dapat meminimalisir degradasi lahan dan kerusakan lingkungan pada umunya.
Sabtu, Desember 05, 2009
KEAMANAN PRODUK HORTIKULTURA
Sabtu, November 14, 2009
MARGIN PEMASARAN HASIL PERTANIAN
Hal ini berarti harga hasil pertanian disebabkan oleh sifat alami dari produksi pertanian, yaitu dalam jangka pendek tidak dapat merespon tambahan permintaan atau tidak dapat mengurangi produksi pada saat harga yang rendah. Pengaruh fluktuasi harga pertanian lebih besar bila dibandingkan dengan fluktuasi produksi. Keadaan ini dapat menyebabkan petani menderita kerugian dalam jangka pendek sehingga menimbulkan kurangnya keinginan untuk melakukan investasi di sektor pertanian atau petani akan beralih ke komoditas yang memiliki harga jual yang lebih tinggi.
Selanjutnya banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dalam pemasaran hasil pertanian akan mempengaruhi panjang pendeknya rantai tataniaga dan besarnya biaya tataniaga. Besarnya biaya tataniaga akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen. Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen pabrikan sangat bergantung pada struktur pasar yang menghubungkannya dan biaya transfer. Apabila semakin besar margin pemasaran ini akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen menjadi semakin kecil dan semakin mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efisien (Tomek and Robinson, 1990).
Persoalan mutu dan harga hasil pertanian merupakan bagian dari masalah tataniaga hasil pertanian yang tidak dapat dipisahkan karena mempunyai dampak langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perdagangan hasil pertanian. Selain itu keberadaan lokasi lahan pertanian yang terpencar-pencar dan jauh dari pusat perekonomian yang mengarah pada terbentuknya rantai tataniaga yang panjang karena adanya peran hierarki dari pedagang perantara yang cenderung menambah kompleksitas upaya perbaikan mutu hasil pertanian.
Analisis margin pemasaran digunakan untuk mengetahui distribusi biaya dari setiap aktivitas pemasaran dan keuntungan dari setiap lembaga perantara serta bagian harga yang diterima petani. Atau dengan kata lain analisis margin pemasaran dilakukan untuk mengetahui tingkat kompetensi dari para pelaku pemasaran yang terlibat dalam pemasaran/disribusi (Tomeck and Robinson, 1990; Sudiyono, 2001).
Senin, November 02, 2009
KEUNGGULAN AGRIBISNIS TERHADAP KRISIS
Ketiga, agribisnis memiliki kaitan usaha kedepan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) yang kuat, sehingga perkembangan budidaya pertanian otomatis akan mendorong industri hulu dan hilir (agroindustri) termasuk sektor jasa. Keempat, pertanian merupakan sumber pencaharian utama masyarakat dan masih merupakan sektor penyerap tenaga kerja yang besar. Kelima, kultur masyarakat Indonesia masih didominasi oleh kultur dan tradisi agraris yang kuat, sehingga way of life seperti ini sangat menunjang pengembangan agribisnis.
Keenam, ketersediaan lahan dan sumberdaya alam Indonesia yang besar dan belum dimanfaatkan secara optimal, menjadi prasyarat dasar yang dimiliki bangsa ini untuk mengembangkan agribisnis. Ketujuh, dalam era globalisasi sekarang yang mampu bersaing dipasaran dunia adalah barang sekunder (agroindustri olahan), maka agroindustri berpeluang besar untuk dikembangkan mengingat ketersediaan bahan baku cukup besar.
Kedelapan, kontribusi agribisnis/agroindustri dalam perekonomian nasional (PDB) sendiri cukup besar,khususnya dalam industri non migas. Kesembilan, pada akhirnya mengembangkan agribisnis identik dengan pemberdayaan perekonomian rakyat, karena secara obyektif sebagian besar masyarakat yang bergerak di sektor ini adalah masyarakat miskin yang berjumlah jutaan.
AGRIBISNIS : CARA PANDANG BARU PERTANIAN
Hal ini dipengaruhi oleh paradigma dasar pembangunan pertanian kala itu yang masih sempit sebatas usaha bercocok tanam (on farm agriculture). Sehingga orientasi pembangunan pertanian dalam PJPT I lebih bertumpu pada peningkatan produksi dalam rangka mencapai swasembada pangan, daripada mengembangkannya sebagai sebuah peluang ekonomi yang mampu meraup devisa. Paradigma yang sempit tentang pertanian tersebut harus digantikan dengan paradigma baru pertanian modern. Paradigma yang dimaksudkan adalah paradigma Agribisnis.
Dalam agribisnis pertanian bukan sekedar dipandang sebagai kegiatan bercocok tanam, tetapi juga termasuk aktivitas pengadaan sarana produksi pertanian, pengolahan hingga pemasaran produk pertanian. Atau dalam bahasa Davis dan Goldberg1 agribisnis merupakan “the sum total of all operation involved in the manufacture and distribution of farm supplies; production operation on farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them”
Perubahan paradigma ini sangat penting mengingat sikap dan perilaku seseorang atau pengambil keputusan akan sangat ditentukan oleh paradigma atau cara pandangnya terhadap permasalahan. Dengan paradigma baru pertanian (Agribisnis) ini akan diperoleh dimensi baru dan pemahaman baru yang lebih lengkap dalam memandang sektor pertanian.
Berdasarkan cara pandang baru diatas, jelaslah bahwa setiap komoditi pertanian mempunyai suatu sistem agribisnis yang terdiri dari berbagai subsistem fungsional yang terintegrasi satu sama lain secara vertikal. Hubungan antara sektor pertanian dengan sektor industri pun menjadi sangat erat dan saling tergantung satu sama lain dalam paradigma diatas. Agribisnis mencakup seluruh kegiatan di sektor pertanian dan sebagian dari sektor industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian (Agroindustri Hulu) dan mengolah hasil-hasil pertanian (Agroindustri Hilir).
Thailand dan Taiwan merupakan contoh negara pertanian yang memakai paradigma agribisnis sebagai orientasi pembangunan pertanian. Dan kini terbukti dua negara tersebut merupakan negara agribisnis yang tangguh, dimana kegiatan budidaya sebagai salah satu subsistem dalam sistem agribisnis didukung secara total oleh subsistem lainnya.
Minggu, November 01, 2009
SISTEM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
Dalam agribisnis terdapat dua konsep pokok. Pertama, agribisnis merupakan konsep dari suatu sistem yang integratif dan terdiri dari beberapa sub-sistem, yaitu: (1) sub-sistem pengadaan sarana produksi (agroindustri hulu), (2) sub-sistem produksi usahatani, (3) subsistem pengolahan dan industri hasil pertanian (agroindustri hilir), (4) sub-sistem pemasaran dan perdagangan, dan (5) sub-sistem kelembagaaan penunjang (Davis and Golberg, 1957; Downey and Erickson, 1987); Saragih (1999) (lihat Diagram 1). Sub-sistem kedua dan sebagian dari sub-sistem pertama dan ketiga merupakan on-farm agribusiness, sedangkan sub-sistem lainnya merupakan off-farm agribusiness.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kegiatan agribisnis merupakan (a) kegiatan yang berbasis pada keunggulan sumberdaya alam (on-farm agribusiness) yang terkait erat dengan penerapan teknologi dan keunggulan sumberdaya manusia bagi perolehan nilai tambah yang lebih besar (off-farm agribusiness); serta (b) kegiatan yang memiliki ragam kegiatan dengan spektrum yang sangat luas, dari skala usaha kecil dan rumahtangga hingga skala usaha raksasa, dari yang berteknologi sederhana hangga yang paling canggih, yang kesemuanya itu saling terkait dan saling mempengaruhi.
Dalam usaha mempercepat laju pertumbuhan sektor agribisnis terutama dihadapkan dengan kondisi petani kita yang serba lemah (modal, skill, pengetahuan dan penguasaan lahan) dapat ditempuh melalui penerapan sistem pengembangan (system of development) agribisnis. Dalam konteks bahasan ini, yang dimaksud “sistem pengembangan agribisnis” adalah suatu bentuk atau model atau sistem atau pola pengembangan agribisnis yang mampu memberikan keuntungan layak bagi pelaku-pelaku agribisnis (petani/peternak/pekebun/ nelayan/pengusaha kecil dan menengah/koperasi), berupa peningkatan pendapatan, peningkatan nilai tambah dan perluasan kesempatan kerja.
Di Indonesia sejak dilaksanakan pembangunan pertanian, telah diterapkan beberapa sistem pengembangan pertanian berskala usaha baik untuk komoditi pangan maupun non pangan. Jika dikaji lebih jauh tujuan dan sasaran “sistem pengembangan” yang pernah diterapkan di sektor pertanian, pada hakekatnya adalah pengembangan sektor pertanian (dalam arti luas) secara menyeluruh dan terpadu, yakni tidak hanya peningkatan produksi, tetapi juga pengadaan sarana produksi, pengolahan produk, pengadaan modal usaha dan pemasaran produk secara bersama atau bekerjasama dengan pengusaha. Sistem pengembangan sektor pertanian semacam ini, jika menggunakan istilah sekarang, tidak lain adalah pengembangan pertanian berdasarkan agribisnis, atau dengan kata lain pengembangan agribisnis. Di antara sistem-sistem tersebut ada yang diterapkan oleh pemerintah berupa kebijakan nasional dan ada pula yang telah berhasil diterapkan oleh kelompok masyarakat atau kelompok peneliti, akan tetapi masih bersifat per kasus. Adapun sistem-sistem tersebut antara lain: Unit Pelaksana Proyek (UPP), Insus dan Supra Insus, Sistem Inkubator, Sistem Modal Ventura, Sistem Kemitraan (Contract Farming) dalam berbagai bentuknya seperti Pola PIR, Pola Pengelola, Sistem ‘Farm Cooperative’, dll. Jadi dalam rangka pengembangan agribisnis hortikultura, pelaku-pelaku agribisnis dapat menerapkan satu atau lebih sistem tersebut sesuai dengan kondisi lokalitas.
Rabu, Agustus 26, 2009
PASAR
Secara konseptual, pasar merupakan kelembagaan yang otonom. Dalam bentuknya yang ideal, maka mekanisme pasar diyakini akan mampu mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dengan pengawasan politik dan sosial yang minimal dari pemerintah dan komunitas. Ini merupakan pandangan yang paling ekstrim tentang keberadaan pasar, yang dikenal dengan pandangan fundamentalisme pasar (market fundamentalism).
Agar otonominya terjamin, maka pasar membutuhkan wujud sebagai sebuah kelembagaan, untuk melegitimasi otoritas pemerintah dan komunitas. Caranya adalah dengan membangun kelembagaannya sendiri, dengan menciptakan norma dan aturannya sendiri, serta struktur keorganisasiannya sendiri. Secara keorganisasian, ia membangun garis batas yang tegas dengan pemerintah dan komunitas. Kelembagaan pasar terbentuk tidak secara spontan, namun secara gradual dan evolutif (Martineli, 2002).
Derajat ke-otonom-an pasar pada suatu masyarakat tidaklah sama, tergantung salah satunya pada iklim politik yang melingkupinya. Pada negara berkembang, menurut Heilbroner (1982), perkembangan ekonomi dalam masyarakat dimulai dari tingkat persiapan yang lebih rendah, yaitu dari belum adanya pasar. Pada perkembangan lebih lanjut, mekanisme pasar dengan cepat menggantikan sistem “ekonomi komando” yang umum berlaku. Ekonomi komando di Indonesia baru terjadi selang beberapa dekade lalu yang juga mendominasi perekonomian pertanian dan pedesaan di Indonesia.
Pasar adalah kelembagaan yang mewujud dalam prinsip-prinsip pertukaran. Sistem pasar berjalan bukan oleh perintah yang terpusat, namun oleh interaksi mutual dalam bentuk transaksi barang dan jasa antar pelaku-pelakunya. Menurut Lindbom (dalam Martineli, 2002: 5):
“Markets are the institutional embodiment of the exchange principle. A market system is a system of society-wide coordination of human activities, not by central command but by mutual interaction in the form of transactions”.
Peran pasar dalam masyarakat saat ini sudah sedemikian besar dan diperkirakan akan menjadi semakin besar sejalan dengan semakin sehatnya kehidupan politik dan sosial pada berbagai lapisan masyarakat. Pasar tak lagi bermakna sebagai tempat atau lokasi belaka, namun sudah meluas sebagai bagian penentu aspek moral kehidupan kolektif di tingkat desa hingga nasional. Pasar seolah-olah menjadi penentu segala aturan dan gaya hidup. Kekuatan pasar (market forces) diambil oleh masyarakat dan negara sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan semua jenis penyakit pembangunan ekonomi. “Planning is out, market forces are in” (Evers, 1997: 80).
Dalam kehidupan sektor pertanian, terlihat fenomena otonomnya para pedagang hasil-hasil pertanian, dimana mereka seakan-akan membangun dunianya sendiri. Hal ini banyak ditemukan dalam penelitian-penelitian tata niaga pertanian, misalnya timbulnya pedagang-pedagang pedagang kaki tangan dan pedagang komisioner (Syahyuti, 1998). Ciri kelembagaan berupa kohesivitasnya yang tinggi juga terjadi pada dunia pedagang. Dasar bangunan kelembagaan mereka adalah kepercayaan dengan menggunakan pola interaksi yang berlangganan.
Derajat otonomi pelaku pasar yang relatif tinggi juga dtunjukkan oleh solidaritas sesama pedagang yang tinggi dibandingkan dengan petani produsen. Para pedagang mempersepsikan petani sebagai outgroup. Pasar hasil-hasil pertanian di Indonesia telah membentuk karakter kelembagaannya tersendiri. Salah satunya terlihat dari komposisi dan struktur organ-organ di dalamnya, dimana ditemukan pedagang biasa yang menggunakan modal sendiri, pedagang kaki tangan yang merupakan perpanjangan tangan, atau disebut dengan pedagang pengumpul semu, dan (Zulham dan Yum, 1997), dan pedagang komisioner yang disebut makelar atau broker (lihat misalnya Gunawan et al., 1990). Munculnya sentimen negatif terhadap petani sebagai out-group merupakan salah satu bukti bahwa sesama pedagang memiliki “sentimen kolektif” yang relatif kuat.
Dalam kondisi persaingan yang tinggi, sesama pedagang memiliki solidaritas, misalnya terlihat dari cara mereka dalam membagi resiko ataupun keuntungan. Dalam kondisi pasar yang tidak pernah bersaing sempurna, kepercayaan yang personalistik memiliki peran yang sangat penting. Kuatnya interaksi antar pedagang juga terihat dari penyediaan jasa keuangan dan permodalan. “Jaringan neraca kredit yang kompleks dan bercabang-cabang adalah salah satu mekanisme yang mengikat bersama pedagang besar maupun kecil menjadi faktor integratif dalam pasar” (Geertz, 1989). Memperoleh hutang bagi seorang pedagang kecil bukanlah semata-mata bermakna ekonomi (modal), namun yang lebih utama adalah indikasi terhadap berlakunya sistem dan sebagai bagian pemeliharaan masyarakat pasar yang telah terbentuk.
Menurut Rex (1985), pasar merupakan interaksi bersusun yang kompleks yang meliputi penawaran, pertukaran, dan persaingan. Pertukaran ekonomi merupakan bagian sentral masyarakat modern. Dinamika pasar (dan ekonomi) mengarahkan hampir keseluruhan struktur sosial menurut utopia liberal-utilitarian-individualis. Ciri khas pasar untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya dan rugi sekecilkecilnya, diperkirakan akan mengenyampingkan golongan masyarakat yang tidak banyak akses terhadap pasar, terutama golongan miskin di pedesaan.
Pasar merupakan kelembagaan yang tegas, dan juga sederhana. Kesedehanaannya tampak dari orientasi kerjanya sangat sempit: “hanya mencari keuntungan”. Kompetisi adalah bentuk utama dari semangat kerjanya, dengan kontrol sosialnya yang berbentuk renumerative compliance (Etzioni, 1961).
Dampak Krisis Keuangan Global terhadap Sektor Agribisnis
Bagaimana efek krisis keuangan global terhadap agribisnis di tanah air? Sepuluh tahun yang lalu para petani yang menghasilkan komoditas ekspor bergembira karena meningkatnya nilai tukar US Dollar terhadap rupiah yang mencapai sekitar 5–6 kali lipat. Kali ini terjadi kondisi sebaliknya. Melemahnya kondisi perekonomian di negara-negara maju yang sebelumnya menjadi pasar produk pertanian kita telah menyebabkan harga berbagai komoditas jatuh. Sekitar setahun yang lalu para petani sawit bergembira karena harga minyak sawit di pasar internasional melonjak dengan drastis yang berimbas naiknya harga tandan buah segar (TBS) sawit yang pernah mencapai Rp. 2000,-/kg. Saat ini petani dihadapkan suatu dilema karena harga sangat rendah yakni sekitar Rp. 500,- . Demikian pula untuk komoditas karet alam, harga juga jatuh sehingga ada petani karet memilih menebang pohon karet dan menjualnya sebagai kayu untuk menyambung hidup. Rasanya begitu pendek masa keemasan yang dapat dinikmati oleh para petani. Jatuhnya harga komoditas bukan hanya dirasakan oleh petani di negara kita. Berbagai produk pertanian lain di pasar dunia juga telah mengalami penurunan.
Mencermati kondisi yang ada sekarang ini, kita masih merasakan bahwa sektor agribisnis khususnya di segmen hulu masih sangat rawan. Goncangan kecil di sektor lain telah menyebabkan ketidakpastian di sektor agribisnis. Seperti yang kita rasakan saat ini dengan adanya krisis keuangan global. Yang menjadi pertanyaan apakah akan kita biarkan kondisi itu tetap tidak berubah padahal segmen hulu dan hilir di agribisnis di tanah air bersangkutan dengan jumlah tenaga kerja yang sangat besar.
Terdapat beberapa pemikiran yang perlu menjadi perhatian Pemerintah dan juga pihak-pihak yang memiliki komitmen untuk masa depan bangsa dan negara kita ini. Secara kasat mata kita melihat inkonsistensi pemerintah dalam lebijakan yang digariskan. Pemerintah sering melakukan tindakan ”pemadaman kebakaran”. Contoh, pada saat harga minyak dunia naik tajam, pemerintah menggemborkan program penanaman pohon jarak dalam rangka memproduksi biofuel. Setelah masyarakat mampu menyesuaikan diri dengan harga BBM, pemerintah juga lupa dengan program tersebut dan mengabaikan berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan untuk program tersebut. Ini tidak berbeda dengan program pembuatan briket batubara. Tindakan pemerintah seperti tersebut di atas itulah salah satu titik lemah mengapa agribisnis di negara kita tidak pernah maju. Kedua, pemerintah tidak pernah atau pandai berhitung. Berapa anggaran yang telah dikeluarkan untuk memanjukan bidang pertanian ataupun agribisnis. Tetapi outputnya tidak jelas. Kinerja yang dihasilkan oleh para wirausahawan dan kerja para petani atau perusahaan sering diklaim sebagai output kinerja pemerintah. Padahal semua biaya dan risiko yang harus ditanggung para petani itu sepenuhnya menjadi beban petani. Ketiga, adalah sifat keraguan pemerintah untuk membuat keputusan politik untuk mendorong secara maksimal agribisnis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga keuangan termasuk perbankan sangat sulit mengucurkan kredit untuk bidang pertanian kecuali untuk perusahaan besar.
Krisis keuangan global yang terjadi saat ini adalah baru permulaan. Banyak ekonom kelas dunia yang memperkirakan bahwa krisis ini akan berlangsung antara 2 – 3 tahun dan belum dapat memperkirakan implikasi terhadap perekonomian dunia. Yang jelas di berbagai negara mulai terjadi kondisi resesi dan meningkatnya jumlah pengangguran. Dalam hal ini kita tidak perlu menunggu sampai akhir krisis. Kalau di awal krisis saja kita dihadapkan pada dilema yang berat, maka lebih baik kita prepare for the worst. Pemerintah perlu mengambil sikap tegas dan jelas memperkuat sektor agribisnis dengan tidak tanggung-tanggung. Banyak sekali peluang yang terbuka untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri seperti susu, daging sapi, buah-buahan. Ketergantungan kita pada impor mestinya dapat dijadikan justifikasi oleh pemerintah untuk menggenjot peningkatan usaha tersebut terutama untuk skala kecil dan menengah dengan memebrikan berbagai bentuk fasilitas terutama permodalan, infrastruktur, serta kemudahan lainnya.
Pengalaman krisis di akhir tahun 90-an masih meninggalkan kepahitan. Jangan sampai kita telan lagi pil yang lebih pahit pada saat sekarang ini. Tahun depan bangsa kita memasuki ”tahun politik”. Jangan sampai pula krisis yang ada sekarang ini diabaikan karena sibuknya para elite untuk mempertahankan kenikmatan berkuasa. Krisis keuangan global ini boleh jadi akan berakibat lebih parah dibandingkan krisis sepuluh tahun yang lalu. Mari kita siapkan menghadapi kemungkinan yang terburuk di sektor agribisnis di negara kita dengan menyatukan pikiran, tekad dan semangat.
Jumat, Februari 13, 2009
LANGKAH STRATEGIS INISIASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Strategi utama untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di sector pertanian selain harus tetap berpijak pada prinsip-prinsip kelembagaan, secara operasional hendaknya dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
(1) Menetapkan terlebih dahulu kriteria calon kelompok sasaran, antara lain terkait dengan eksistensinya sebagai kelompok paling tidak dalam dua tahun terakhir. Dalam penetapan calon kelompok sasaran ini seyogyanya berpedoman pada mekanisme yang sistematis dan terstruktur berdasarkan langkah-langkah kegiatan yang mengarah pada operasionalisasi kegiatan.
(2) Kelompok terpilih yang sudah memenuhi kriteria tersebut diseleksi oleh pendamping lokasi. Seleksi didasarkan pada prioritas pengembangan pertanian.
(3) Dari seleksi tersebut menghasilkan sasaran kelompok yang layak melakukan kegiatan jasa pelayanan keuangan. Aspek kelayakan didasarkan pada keragaan organisasi kelompok tani yang difokuskan pada kondisi kinerja organisasi kelompok tani.
(4) Memprakarsai penyaluran dan pemanfaatan dana penguatan modal usaha kelompok (penyediaan seed capital).
(5) Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam adminitrasi pengelolaan dana.
(6) Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan pengelolaan LKM yang berkelanjutan (sustainabel). LKM harus terus berjalan meskipun keterlibatan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta secara langsung telah berkurang.
(7) Melakukan pelatihan bagi pengurus LKM untuk meningkatkan kapabilitas pengurus dalam mengelola LKM, dan melakukan pembinaan usaha kepada nasabah agar usahanya memberikan nilai tambah yang tinggi.
PERSPEKTIF LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) PERTANIAN
(1). Pendekatan kelompok.
Makna pendekatan kelompok adalah sebagai penjaminan, kompensasi dari tidak adanya agunan (collateral). Kelompok diselaraskan dengan kelompok tani yang sudah eksis beranggotakan antara 20 – 30 orang.
(2). Perluasan sasaran pengguna kredit
Sasaran pengguna kredit tidak difokuskan untuk kaum ibu saja, melainkan perlu juga melibatkan kaum Bapak. Karena yang menjadi anggota kelompok tani adalah kaum bapak dan yang mengetahui kebutuhan dana untuk adopsi teknologi usahatani.
(3). Seleksi calon pengguna kredit
Indikator seleksi disesuaikan dengan keragaan usahatani, salah satunya yang penting dipertimbangkan adalah adanya diversifikasi usaha (on farm dengan off farm dan non farm).
(4). Volume Pagu Kredit
Volume pagu kredit minimal mampu memenuhi standar kebutuhan tambahan biaya usahatani dan realisasi pencairannya disesuaikan dengan perilaku pola tanam. Studi kelayakan usahatani menjadi acuan. Tiap orang kebutuhannya akan berbeda.
(5). Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman terkait dengan keberlanjutan perkreditan. Oleh karena itu patokannya adalah bunga komersial sesuai pasar.
(6). Waktu pengembalian cicilan
Pembayaran cicilan bisa dikelompokkan dalam bentuk mingguan dan atau setelah panen. Komposisi jumlah cicilan mingguan dan setelah panen (disesuaikan dengan perkiraan sumber pendapatan nasabah). Disarankan komposisi jumlah cicilan mingguan lebih besar dari pada cicilan setelah panen, misal 70% berbanding 30%.
(7). Pendampingan dan Monitoring
Pendampingan dan monitoring secara berkelanjutan, sehingga jika terjadi masalah selama proses pemanfatan kredit bisa segera dicarikan solusinya.
(8). Pelatihan
Pelatihan diperlukan terutama bagi pengurus LKM untuk secara terus menerus meningkatkan kapabilitas manajemen LKM.
Rabu, Januari 21, 2009
FUNGSI SUBSISTEM AGRIBISNIS DALAM SISTEM AGRIBISNIS
Subsistem perusahaan agribisnis hulu berfungsi menghasilkan dan menyediakan sarana produksi pertanian terbaik agar mampu menghasilkan produk usahatani yang berkualitas. Dalam hubungan kemitraan inti plasma, maka perusahaan agribisnis hulu dapat melakukan perannya, antara lain: memberikan pelayanan yang bermutu kepada usahatani, memberikan bimbingan teknis produksi, memberikan bimbingan manajemen dan hubungan sistem agribisnis, memfasilitasi proses pembelajaran atau perlatihan bagi petani, menyaring dan mensintesis informasi agribisnis praktis untuk petani, mengembangkan kerjasama bisnis (kemitraan) untuk dapat memberikan keuntungan bagi para pihak.
Subsistem perusahaan usahatani sebagai produsen pertanian berfungsi melakukan kegiatan teknis produksi agar produknya dapat dipertanggung jawabkan baik secara kualitas maupun kuantitas. Mampu melakukan manajemen agribisnis secara baik agar proses produksinya menjadi efisien sehingga mampu bersaing di pasar. Karena itu, petani umumnya memerlukan penyuluhan dan informasi agribisnis, teknologi dan inovasi lainnya dalam proses produksi, bimbingan teknis atau pendampingan agar petani dapat melakukan proses produksi secara efisien dan bernilai tambah lebih tinggi. Dalam hubungan kemitraan inti plasma, petani berperan sebagai plasma.
Subsistem perusahaan agribisnis hilir berfungsi melakukan pengolahan lanjut (baik tingkat primer, sekunder maupun tersier) untuk mengurangi susut nilai atau meningkatkan mutu produk agar dapat memenuhi kebutuhan dan selera konsumen, serta berfungsi memperlancar pemasaran hasil melalui perencanaan sistem pemasaran yang baik. Dalam hubungan kemitraan inti plasma, maka perusahaan agribisnis hilir itu sering berfungsi sebagai inti yang mempunyai kewajiban untuk mendorong berkembangnya usahatani.
Subsistem jasa penunjang (penyuluhan, penelitian, informasi agribisnis, pengaturan, kredit modal, transportasi, dll) secara aktif ataupun pasif berfungsi menyediakan layanan bagi kebutuhan pelaku sistem agribisnis untuk memperlancar aktivitas perusahaan dan sistem agribisnis. Masing-masing komponen jasa penunjang itu mempunyai karakteristik fungsi yang berbeda, namun intinya adalah agar mereka dapat berbuat sesuatu untuk mengurangi beban dan meningkatkan kelancaran penyelenggaraan sistem agribisnis.
KENDALA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
Kedua, kurangnya iklim usaha yang dapat merangsang investor untuk mengembangkan bidang ini, seperti masih terbatasnya sarana pemasaran seperti transportasi jalan, listrik dan fasilitas pascapanen, demikian pula keterbatasan prasarana permodalan dan perkreditan, tenaga ahli yang mampu melayani kegiatan-kegiatan sektor ini setelah pascapanen beserta pengolahannya, serta ketidakteraturan penyediaan bahan baku sehubungan dengan masalah jumlah dan mutu sesuai kebutuhan.
Ketiga, masih relatif besarnya resiko bagi sektor ini, sebagai akibat musim, hama penyakit dan ketidakpastian pasar, yang mana tidak dibarengi oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan perlindungan dan bantuan yang sesuai dan pantas untuk menghadapi resiko-resiko tersebut.
Oleh karena itu, pengembangan sektor agribisnis diperlukan beberapa langkah strategi yang bersifat umum dan spesifik. Strategi yang bersifat umum diantaranya : penentuan prioritas daerah atau wilayah dan komoditas yang harus dikembangkan; penentuan dan perencanaan secara rinci sejak produksi, penggunaan hasil, hingga pemasaran; serta penyediaan informasi tentang potensi daerah terutama diperuntukkan bagi para investor.
Strategi yang bersifat spesifik berupa pentingnya penyusunan strategi pengembangan agribisnis dalam kerangka konsep kemitraan dalam arti luas antara kegiatan produksi dengan pemasarannya serta berbagai faktor pendukung lainnya, yang direkat dengan legalitas hokum yang dinamis dan aplikatif.
Senin, Januari 12, 2009
PERILAKU AGRIBISNIS
Perilaku merupakan cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis, dan psikologis (Kast dan Rosensweig, 1995), refleksi dari hasil sejumlah pengalaman belajar seseorang terhadap lingkungannya yang dapat dilihat dari aspek pengetahuan (cognitive), sikap (affective), keterampilan (psychomotoric), dan tindakan nyata (action) (Rogers, 1969).
Menurut Suparta, (2001) perilaku agribisnis dapat diukur dari: (1) aspek perilaku teknis produksi, yakni: unsur panca usaha peternakan; (2) aspek perilaku manajemen agribisnis, yakni: perencanaan agribisnis, pemanfaatan sumber daya agribisnis, meningkatkan efisiensi, meningkatkan produktivitas, senantiasa memperbaiki mutu hasil, melakukan perekayasaaan teknis produksi, melakukan fungsi kelembagaan agribisnis, dan selalu mengutamakan ketepatan dan kecepatan pelayanan; dan (3) aspek perilaku hubungan system agribisnis, yakni: melakukan hubungan kebersamaan dan saling ketergantungan dengan perusahaan agribisnis lainnya, melakukan kerjasama secara harmonis, dan aktif melakukan komunikasi informasi agribisnis.
Suatu hasil penelitian pada perusahaan agribisnis ayam ras pedaging yang dilakukan di propinsi Jawa Timur dan Bali oleh Nyoman Suparta (2002) menunjukkan bahwa sebagian besar (74,89%) peternak termasuk katagori perilaku agribisnis tinggi, namun demikian salah satu pendukung perilaku agribisnis yakni aspek perilaku hubungan sistem agribisnisnya termasuk katagori rendah sampai sedang (Tabel 1). Keadaan ini disebabkan karena penyuluh atau sumber informasi dan peternak selama ini masih saja berorientasi kepada produksi dan produktivitas. Hal ini terbukti dari sebagian besar (69,12 %) peternak menyatakan menerima materi penyuluhan tentang teknis produksi; 34,93 % tentang manajemen agribisnis; dan hanya 6,12 % tentang sistem agribisnis. Materi informasi agribisnis yang diterima peternak juga menunjukkan kecenderungan serupa, yakni: sebagian besar (94,04%) peternak menyatakan menerima materi informasi tentang teknis produksi; 51,96% tentang manajemen agribisnis; dan hanya 29,68% tentang hubungan sistem agribisnis.
Berdasarkan indikator ciri, ternyata: (a) peternak belum mampu menerapkan teknologi untuk mengendalikan pengaruh alam yang sering tidak sesuai dengan kebutuhan ayam, (b) belum mempunyai kebiasaan untuk membuat perencanaan secara tertulis, (c) hasil usaha belum digunakan untuk pemupukan modal, (d) belum sepenuhnya mampu menggunakan kemajuan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi karena biaya teknologi masih dianggap terlalu mahal, dan (e) belum melakukan hubungan koordinasi vertikal secara baik dan benar (Nyoman Suparta, 2002).
Sikap dan perilaku seperti itulah yang menjadi penghalang besar untuk keberhasilan pengembangan agribisnis. Sayangnya sikap dan perilaku seperti itu tidak hanya terjadi pada peternak tetapi juga pada pelaku agribisnis lainnya, padahal untuk kemajuan suatu agribisnis diperlukan sikap dan perilaku yang seimbang antara perusahaan peternakan dengan perusahaan agribisnis lainnya. Karena itu, diperlukan penyuluhan sistem agribisnis.
Kamis, Januari 08, 2009
AGRIBISNIS
Agribisnis merupakan sebuah bentuk pengaitan pertanian dengan industri hulu dan industri hilir pertanian. Selain itu, pembangunan pertanian yang dilakukan diiringi pula dengan membangun subsektor pertanian berupa pembangunan industri dan jasa terkait yang dikembangkan secara simultan dan harmonis. Secara garis besar, sistem dari agribisnis tersebut memiliki lima subsistem. Sub sistem pertama adalah subsitem agribisnis hulu, yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian, seperti industri pembibitan/pembenihan hewan dan tumbuhan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat/vaksin ternak), dan industri agrootomotif (mesin dan peralatan pertanian), serta industri pendukungnya.
Kedua, subsistem usahatani atau pertanian primer, yaitu kegiatan yang menggunakan sarana produksi pertanian untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Termasuk dalam hal ini adalah usaha tani tanaman pangan dan hortikultura, usahatani perkebunan, dan usaha tani peternakan, usaha perikanan dan usaha kehutanan.
Ketiga, subsistem agribisnis hilir atau pengolahan, yakni kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer (agroindustri) menjadi produk olahan baik produk antara maupun produk akhir. Termasuk di dalamnya industri makanan, industri minuman, industri barang-barang serat alam (barang-barang karet, plywood, pul, kertas dan bahan-bahan bangunan terbuat dari kayu, rayon, benang dari kapas atau sutera, barang-barang kulit, tali dan karung goni), industri biofarmaka, dan industri agrowisata dan estetika, termasuk kegiatan perdagangannya.
Keempat, subsitem pemasaran, yakni kegiatan-kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditas pertanian baik segar maupun olahan, di dalam dan luar negeri. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan distribusi untuk memperlancar arus komoditas dari sentra produksi ke sentra konsumsi, promosi, informasi pasar, serta market intelligence.
Kelima, subsistem jasa yang menyediakan jasa bagi subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, dan subsistem agribisnis hilir. Termasuk ke dalam subsistem ini adalah penelitian dan pengembangan, perkreditan dan asuransi, sistem informasi dan dukungan kebijakan pemerintah (mikroekonomi, tata ruang, makroekonomi).
Diharapkan dengan pembangunan sistem dan usaha agribisnis setidaknya ada enam sasaran yang bisa di capai. Pertama, mengembangkan perekonomian yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan, dan terdesentralisasi dengan basis keunggulan komparatif. Kedua, meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, kesempatan kerja dan kesempatan berusaha secara adil. Ketiga, meletakkan dasar yang kokoh untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan. Keempat, mendorong transformasi struktural secara seimbang. Kelima, mengembangkan pembangunan ekonomi pedesaan. Dan keenam, mewujudkan ketahanan pangan nasional berbasis keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal.
Jumat, Januari 02, 2009
AGRIBISNIS SEBAGAI A NEW PARADIGM
- Agribisnis diartikan sebagai suatu kegiatan pertanian komersial, atau petani yang berbisnis atau sekedar berorientasi pasar. Pengertian tersebut menghilangkan makna “sistem” dan keterkaitan antar subsistem, yang menjadi “sukma” bagi wawasan agribisnis itu sendiri;
- Agribisnis hanya diartikan sebagai perusahaan-perusahaan besar di bidang pertanian, sehingga memperkecil pengertian dan lingkup kesistemannya;
- Agribisnis hanya dipandang sebagai suatu “program” bagi kementerian pertanian, sehingga menghilangkan esensinya sebagai a new paradigm.
- Agribisnis diartikan sebagai sektor yang berkonotasi sempit, dan lainnya.
PEMBERDAYAAN POSISI TAWAR PETANI MELALUI KELEMBAGAAN PERTANIAN
Dewasa ini tingkat kesejahteraan petani terus menurun sejalan dengan persoalan-persoalan klasik yang dialaminya, sekaligus menjadi bagian dan dilema dari sebuah kegiatan agribisnis di tingkat produsen pertanian. Tingkat keuntungan kegiatan agribisnis selama ini lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dan pelaku agribisnis lainnya di hilir (Sumodiningrat, 2000). Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan ekonomi pedesaan yang mampu memberikan kekuatan bagi petani (posisi tawar yang tinggi). Kelembagaan pertanian dalam hal ini mampu memberikan jawaban atas permasalahan di atas. Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya (Suhud, 2005).
Peningkatan posisi tawar petani dapat meningkatkan akses masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi yang adil, sehingga bentuk kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh para petani dapat dihindarkan. Pengembangan masyarakat petani melalui kelembagaan pertanian/kelompok tani ataupun Koperasi merupakan suatu upaya pemberdayaan terencana yang dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh melalui usaha bersama petani untuk memperbaiki keragaan sistem perekonomian masyarakat pedesaan. Arah pemberdayaan petani akan disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama. Dengan partisipasi yang tinggi terhadap koperasi, diharapkan rasa ikut memiliki dari masyarakat atas semua kegiatan yang dilakasanakan koperasi akan juga tinggi.
Konsep pemberdayan masayarakat pedesaan melalui koperasi bukanlah konsep baru, banyak kendala dan hambatan yang harus diperhatikan dalam pengembangan koperasi di pedesaan, diantaranya adalah : (a) rendahnya minat masyarakat untuk bergabung dalam kelompok tani/koperasi, hal ini disebabkan karena kegagalan-kegagalan dan stigma negatif tentang kelembagaan tani atau koperasi yang terbentuk di dalam masyarakat. Kegagalan yang dimaksud diantaranya adalah ketidakmampuan kelembagaan tani/koperasi dalam memberikan kebutuhan anggotanya dan ketidakmampuan dalam memasarkan hasil produk pertanian anggotanya. (b) adanya ketergantungan petani kepada tengkulak akibat ikatan yang ditimbulkan karena petani melakukan transaksi dengan para tengkulak (pinjaman modal, dan memasarkan hasil). Dan (c) rendahnya SDM petani di pedesaan menimbulkan pemahaman dan arti penting koperasi terabaikan.
Prospek pertanian dan pedesaan yang berkembang setelah krisis ekonomi semakin mendorong kebutuhan akan adanya kelembagaan perekonomian komprehensif dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh petani atau pengusaha kecil. Hal ini sejalan dengan adanya pemahaman bahwa nilai tambah terbesar dalam kegiatan ekonomi pertanian dan pedesaan terdapat pada kegiatan yang justru tidak dilakukan secara individual. Namun, nilai tambah tersebut didapatkan pada kegiatan perdagangan, pengangkutan, pengolahan yang lebih ekonomis bila dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku lain sehingga diharapkan keuntungan dapat dinikmati secara bersama-sama.
Menurut Baga (2006), pengembangan kelembagaan pertanian baik itu kelompok tani atau koperasi bagi petani sangat penting terutama dalam peningkatan produksi dan kesejahteraan petani, dimana : (1) Melalui koperasi petani dapat memperbaiki posisi rebut tawar mereka baik dalam memasarkan hasil produksi maupun dalam pengadaan input produksi yang dibutuhkan. Posisi rebut tawar (bargaining power) ini bahkan dapat berkembang menjadi kekuatan penyeimbang (countervailing power) dari berbagai ketidakadilan pasar yang dihadapi para petani. (2) Dalam hal mekanisme pasar tidak menjamin terciptanya keadilan, koperasi dapat mengupayakan pembukaan pasar baru bagi produk anggotanya. Pada sisi lain koperasi dapat memberikan akses kepada anggotanya terahadap berbagai penggunaan faktor produksi dan jasa yang tidak ditawarkan pasar. (3) Dengan bergabung dalam koperasi, para petani dapat lebih mudah melakukan penyesuaian produksinya melalui pengolahan paska panen sehubungan dengan perubahan permintaan pasar. Pada gilirannya hal ini akan memperbaiki efisiensi pemasaran yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, dan bahkan kepada masyarakat umum maupun perekonomian nasional. (4) Dengan penyatuan sumberdaya para petani dalam sebuah koperasi, para petani lebih mudah dalam menangani risiko yang melekat pada produksi pertanian, seperti: pengaruh iklim, heterogenitas kualitas produksi dan sebaran daerah produksi. Dan (5) Dalam wadah organisasi koperasi, para petani lebih mudah berinteraksi secara positif terkait dalam proses pembelajaran guna meningkatkan kualitas SDM mereka. Koperasi sendiri memiliki misi khusus dalam pendidikan bagi anggotanya.
Maka dapat disimpulkan, bahwa salah satu bentuk kelembagaan yang ideal di pedesaan adalah kelompok tani atau, dimana tujuan awal pembentukan dari kelompok tani atau koperasi ini adalah untuk meningkatkan produksi pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pemberdayaan petani dalam kelembagaan koperasi yakni KUD, merupakan suatu bentuk alternatif dari model pembangunan masyarakat pedesaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar bermatapencarian sebagai petani atau buruh tani. Koperasi dalam hal ini memberikan jaminan keuntungan bagi anggota baik dari segi sosial dan ekonomi, selain itu yang utama adalah peningkatan posisi tawar petani dapat ditingkatkan sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk ’menentukan’ harga produk pertaniannya.